ARTIKEL GURU

Pendidikan Estetis dalam Gelar Karya P5

Muhammad Fathoni[1]

Penampilan Tari Saman

Penampilan Tari Saman

Saya begitu menikmati penampilan para siswa pada perhelatan Gelar Karya P5 di SMAN Bandarkedungmulyo Jombang, selasa 7 Maret 2023. Ada kejutan-kejutan yang disajikan. Betapa tidak, anak-anak yang kesulitan mencerna pelajaran matematika, bahkan setelah konsultasi berkali-kali…, eh bisa tampil lancar dan membuat decak kagum. Gelar karya pada Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang kedua ini, mengetuk kesadaran kita bersama bahwa anak mempunyai jiwanya masing-masing. Banyak di antaranya yang kendor di akademik, tapi ternyata moncer di pertunjukan seni.

Seketika saya teringat, pada tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara, yang pernah saya baca jauh sebelum ide kurikulum merdeka lahir, Ki Hajar menempatkan pendidikan seni pada posisi penting. Pendidikan seni atau pendidikan estetis berperan mengasah kepekaan terhadap keindahan. Perannya melengkapi pendidikan etis yang mengasah kepekaan siswa terhadap budi pekerti.

Kalau kita bandingkan dengan pendidikan di Indonesia dewasa ini, rasanya ada jarak yang menganga dengan konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, yang menempatkan seni sebagai salah satu pilar penting. Estetis dan etis harus berpadu untuk menciptakan manusia-manusia berbudaya. Selain itu, estetis sejak awal harus dikawal oleh etis, karena estetis adalah bentuk ekspresi yang membawa nilai-nilai. Tentu kita tidak ingin ekspresi estetis kita hanya bernuansa erotis. Kita tidak ingin karya-karya seperti lagu berjudul cinta satu malam, tali kotang, atau mangku purel, menjadi arus utama dan dianggap wajar oleh anak-anak muda. Harus diciptakan karya-karya yang lebih berkelas dengan dipandu oleh etis.

Beberapa dasawarsa terakhir pendidikan kita banyak mengadopsi konsep Benjamin Bloom yang memusatkan perhatian pada tiga hal: kognitif, afektif, dan psikomotor, yang kenyataan melahirkan pribadi-pribadi mekanis. Coba kalau yang kita pakai konsep Ki Hajar yang memperhatikan pendidikan estetis, maka akan lahir pribadi-pribadi kreatif.

Penampilan Ludruk Lakon Roro Jonggrang Bandung Bondowoso

Penampilan Ludruk Lakon Roro Jonggrang Bandung Bondowoso

 Gelar Karya

Sebagai implementasi kurikulum merdeka (Kurmer), gelar karya kedua yang mengambil tema kearifan lokal ini sudah lebih tertata. Sudah ada pembagian masing-masing kelas menampilkan apa.

Penampilan dibuka dengan remo, dipadu dengan parikan dan tari kreasi oleh kelas X 4. Remo dan parikan merupakan bagian dari Ludruk, kesenian asli Jombang. Namun uniknya remo dan parikan ini  bisa ditampilkan terpisah dari Ludruk. Remo karena berupa tari, cara menikmatinya secara visual, dengan ditonton. Sedangkan parikan karena bersifat sastra lisan, cara menikmatinya tidak harus ditonton. Sampai tahun 90an ketika radio masih banyak dimiliki masyarakat, parikan dan jula-juli rutin diperdengarkan, karena banyak chanel radio yang memutar acara tersebut.

Namun anak-anak kelas X yang lahir sekitar tahun 2007, ternyata mampu menciptakan parikan yang up to date dan kontekstual. Dulu Cak Nun pernah membuat istilah yang ditujukan pada Gus Dur “ponakane Ludruk“. Sehingga pada anak-anak yang berbakat ini tidak berlebihan kalau disebut “anak e Ludruk“. Ludruk lahir dari sosiokultur masyarakat Jombang, sehingga dengan sentuhan minimalis saja, anak-anak ini bisa mengekspresikan Ludruk secara presisi.

Tentang tari kreasi yang ditampilkan,  setelah saya menggali keterangan, ternyata mereka mengkreasikan sendiri. Dengan cara memadukan berbagai koreo, dan berbagai lagu. Selain kelas X 4, bisa dikatakan semua kelas X yang lain juga menampilkan tari kreasi, walaupun sama-sama menampilkan tari kreasi namun cita rasanya berbeda-beda, karena unsur koreo dan unsur lagu yang digunakan berbeda. Sehingga bisa digeneralisasi bahwa proses kreatif dalam menciptakan tari kreasi, sama, mereka memadu-madukan sendiri koreo dan lagu.

Penampilan kedua diisi sholawat Banjari oleh kelas X 6. Ini mengingatkan kepada kita bahwa selain punya Ludruk, besutan, dan sandur manduro, di Jombang juga berkembang kesenian sholawatan, baik yang beraliran Banjari maupun Ishari. Bahkan penggagas dan pencipta Ishari adalah Kyai Wahab Tambakberas.

Sholawatan dengan berbagai bentuknya menjadi kesenian yang tidak pernah mati. Ruang ekspresi luas sekali, mulai dari rutinan di kampung-kampung, hajatan, peringatan hari besar Islam, hingga konser sholawatan semacam Habib Syech. Latar belakang situasi yang demikian ini membuat anak-anak kelas X 6 dalam waktu yang tidak begitu lama, mampu membentuk grup Banjari. Normalnya grup Banjari bisa tampil optimal dengan latihan berbulan-bulan.

Tampilan sholawat tersebut lebih segar ketika dikombinasikan dengan tarian sufi berputar (whirling Dervishes). Ketika yang ditampilkan Banjari, tentu sulit mencari paduan tari kreasi yang berbau Islami, whirling Dervishes merupakan pilihan tepat.

Lepas dari Banjari dan whirling Dervishes kita mendapatkan penampilan yang nuansanya tidak terlalu jauh; tari Saman dan pertunjukan foklor  Malin Kundang oleh kelas X 3. Tari Saman yang berasal dari Aceh mempunyai nuansa ke-Islaman kuat, gerakannya indah, dinamis, dan menakjubkan, tapi tidak erotis. Warna kostumnya mencolok, tapi tertutup dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Saking istimewa nya Saman, tidak perlu kreasi baru dalam tari ini, bisa meniru secara persis saja, sudah istimewa, karena gerakkan nya terbilang sulit dan kompleks. Kelas X 3 terbukti bisa melakukannya secara apik.

Tentang Malin Kundang, lakon dari Sumatra Barat ini sudah dikenal banyak orang,  namun selalu aktual ditampilkan kapanpun, terutama untuk menanamkan pendidikan etis; menghormati ibu. Menampilkan lakon ini berarti menginternalisasi nilai-nilai penghormatan terhadap orang tua melalui cara estetis, tidak menggurui tapi mengena.

Berikutnya kita diberikan sajian tari kreasi yang dipadupadankan dengan Cakilan oleh kelas X7. Penampilan dibuka oleh 7 orang gadis berkebaya merah maron, dipadu dengan bawahan jarik, serta kerudung dengan warna senada. Mereka membawakan tari kreasi, berlatar musik kontemporer, sukses mencuri perhatian sejak awal penampilan. Bahkan tidak hanya di awal, tari kreasi yang ditampilkan X 7 mampu memukau hingga akhir penampilan. Hal ini diantaranya karena latar musik yang digunakan tidak monoton. Selain musik kontemporer, mereka juga menggunakan lagu Osing, dan lagu wajib nasional. Beda lagu, koreonya juga beda. Penampilan Cakil di sela-selanya memberikan sentuhan tradisi warisan masa lalu. Dilihat dari musik arranging, koreografi, dan para penampil semuanya pastilah dilakukan oleh anak-anak berbakat.

Tampilan berikutnya sudah kembali lagi ke Jombang. Ludruk, yang dibawakan oleh X 5, Besutan oleh X 1, serta Jaranan oleh X 2. Kelas X 5 membawakan Ludruk dengan lakon Roro Jonggang Bandung Bondowoso. Demi mensukseskan penempilan lakon ini, kelas X 5 sampai menyiapkan banyak properti, terutama untuk menggambarkan pembangunan candi, yang dalam lakon tersebut Bandung Bondowoso disuruh Roro Jonggrang membangun seribu candi, ya…, walaupun tidak sampai seribu, tapi sudah cukup menggambarkan bahwa Bandung Bondowoso sedang membangun candi.

Penampilan Tari Kreasi

Penampilan Tari Kreasi

Tentang Besutan, yang perlu diapresiasi adalah usaha dalam mengkreasi naskah, kelas X 1 berusaha menghadirkan Besutan dalam dunia yang dekat dengan mereka, yaitu dunia anak sekolah. Rusmini ditampilkan sebagai siswa SMA, yang diculik dan dijadikan istri orang kaya.  Mengenai jalan cerita memang perlu ada evaluasi, tapi sebagai usaha awal sudah cukup bagus. Keunggulan berikutnya adalah pada pilihan diksi. Karena menceritakan seputar anak SMA, diksi yang digunakan anak muda banget, selain itu bahasa Jombang-an nya juga kental terasa.

Jaranan yang dibawakan oleh anak X 2 merupakan tampilan penutup. Dalam bayangan saya, Jaranan yang ditampilkan seperti pertunjukan Jaranan yang selama ini pernah saya lihat. Ternyata beda, beda sekali dengan pertunjukan Jaranan di kampung-kampung, yang menonjolkan sisi mistik. Jaranan ala X 2 ternyata tidak, ada skenario cerita yang dibangun, ada koreo-koreo baru yang dikreasikan. Dan itu membuatnya menjadi penampilan yang cukup berkelas dan tidak monoton.

Penampilan Tari Cakilan

Penampilan Tari Cakilan

  Epilog

Dalam konteks pendidikan, Ki Hajar Dewantara menghendaki seni sebagai upaya mengasah kepekaan terhadap keindahan, sehingga pendidikan tidak hanya melulu tentang intelektualitas. Salah satu unsur penting pendidikan adalah kebudayaan, dan seni merupakan dasar penting dalam kebudayaan. Seni dalam konteks pendidikan bukan mempunyai tujuan mencetak seniman dan seniwati, tapi bertujuan membangun unsur pendidikan berupa adab (etis), dan budaya (estetis).

Pemahaman pendidikan yang demikian ini nampaknya mulai kita tinggalkan dewasa ini.  Kurikulum Merdeka, harus kita lihat sebagai potensi mewujudkan kembali cita-cita Ki Hajar Dewantara.  Namun di lapangan ternyata itu tidak mudah, karena ada sekian jam pelajaran terpotong untuk mempersiapkan gelar karya, relakah kita?

[1] Guru Matematika SMAN Bandarkedungmulyo Jombang