realita hidup

REALITA HIDUP

Alfini Khoirina Rosyada-02-X MIPA 3

 

Di suatu malam yang dingin, turun hujan badai yang menghujam dahsyat ke permukaan bumi, melengkapi kesedihan dua anak kecil yang sekarang tengah terisak menyedihkan karena ditinggalkan oleh kedua orang tuanya untuk selamanya. Mereka adalah Rizky Prasetya  dan adiknya Chika Isyana. Kala itu Rizky berusia 12 tahun dan adiknya 4 tahun. Kecelakaan maut telah merenggut orang yang sangat mereka sayangi. Dari sini lah cerita kehidupan Chika dimulai.

 

Tit, tit, tit, tit, alarm berbunyi tanda hari mulai cerah, matahari berpendar-pendar, cahayanya masuk ke celah-celah jendela, menerpa wajah seorang gadis muda yang tengah terlelap bersama mimpinya.

“Hooaam, jam berapa sih ini? Hah, setengah tujuh!!” Si gadis bergegas, siap-siap seadanya.

“Aduh barang-barang jatuh ih, udah mau telat juga,” ujar si gadis.

Berangkatlah ia dengan berjalan kaki tergesa-gesa. Jarak dari rumahnya ke sekolah sekitar 200 meter. Ia bersekolah di SMAN Bandarkedungmulyo.

“Alhamdulillah, syukurlah nggak telat.” Tiba tiba ada yang menyapa,

“Hoi Chika, tungguin dong, main tinggal aja kamu, capek tau lari,” dengan nafas terengah-engah.

“Andi! Sstt udah diem ayo masuk keburu bel nanti!” Kata Chika.

Andi dan Chika adalah tetangga, mereka tumbuh bersama sejak kecil. Mereka sering berangkat ke sekolah bersama. Sebenarnya Andi adalah keluarga berada, tetapi dia lebih sering berangkat dengan berjalan kaki bersama Chika.

“Eh tuh liat deh Chika, cantik banget yakan?”

“Ooh, jadi itu yang namanya Chika, iya sih cantik. Eh btw di samping Chika itu siapa ya?”

“Oo itu Andi, ketua klub musik, terus denger-denger sih katanya dia itu kandidat ketua OSIS selanjutnya.”

“Oh ya? Blablabla..”

Begitulah suara bisik murid-murid jika Andi dan Chika lewat di depan mereka.

Jam pelajaran pun dimulai.

“Oke anak-anak, sebelum olahraga seperti biasa kita pemanasan dulu!” Ucap Pak Fariz.

“Baik Pak,”  jawab murid serempak.

Dan olahraga pun berlangsung selama satu jam, tiba-tiba Pak Fariz yaitu guru olahraga SMAN Bandarkedungmulyo mendapat telepon penting yang mengharuskan beliau untuk pergi, akhirnya beliau meminta sisa jam olahraga agar digunakan untuk olahraga mandiri.

Chika dan teman-temannya sedang berolahraga. Murid-murid senang berteman dengan Chika karena ia adalah anak yang baik, lugu dan periang. Ia selalu rendah hati, dan tidak pernah mengeluh jika diberi banyak tugas sekalipun oleh gurunya. Sementara itu, di pojok lapangan, segerombolan anak perempuan sedang melihat ke arah Chika dan teman di sekitar Chika, dengan mata menyipit, alis menyatu dan rahang mengeras, tak lupa disertai senyum yang sinis, entah ada niat apa.

Tiba-tiba, prank! Salah seorang murid di pojokan menendang bola ke arah Chika, ups tapi sayang bolanya malah meleset kencang mengenai kaca ruang guru di sebelah lapangan. Entah siapa yang menendang bola itu. Semua murid panik berlarian.

“Chici, kamu gapapa kan?” Tanya Ana.

“Iya gapapa bestii, tadi juga ga kena kan,” sambil tersenyum Chika menjawab.

Akhirnya seluruh murid yang olahraga dikumpulkan untuk diinterogasi oleh Pak Fariz yang kebetulan sudah pulang dari kegiatan pentingnya tadi. Saat Pak Fariz marah, semua murid terdiam. Tiba-tiba ada salah seorang murid laki-laki berkata, “Saya tadi melihat Ana Pak yang nendang bolanya,” katanya sambil menunjuk Ana. Refleks Ana pun gelagapan sambil melihat ke arah Pak Fariz dan Chika bergantian. Dia meneguk salivanya.

“Bukan Pak, bukan saya kok yang nendang bolanya, ngapain juga. Saya tau kok Pak siapa yang nendang bolanya,” sanggah Ana.

“Siapa?” Tanya Pak Fariz.

“Chika Pak yang nendang bola kearah saya, tapi saya hindari dan akhirnya meleset deh,”  jawab Ana.

“Apakah kamu punya buktinya An?” Tanya Pak Fariz.

“Punya Pak, mereka juga melihat Chika nendang bola kok tadi, ya kan?” Sambil menunjuk tiga temannya yang tengah mengangguk-angguk.

Seketika Chika bingung, ia menyangkalnya akan tetapi Ana punya bukti lebih dari satu orang yang bersaksi. Begitu pun dengan Andi, ia ikut membela Chika tapi hasilnya tetap sama saja. Jadi Chika dipanggil ke ruang BK untuk ditanyai lebih lanjut. Setelah perdebatan panas disertai tremor, BK memutuskan bahwa Chika harus ganti rugi atas semua kerusakan yang sebenarnya tidak dia lakukan.

Sepulang sekolah, Chika berjalan dengan langkah gontai, tetapi ia berusaha tetap tegar dan tersenyum. Dalam hatinya terselip kalimat, “Semua akan baik-baik saja”. Andi yang dari tadi mengikutinya, malah meninggalkan Chika, berbalik arah menuju sekolah lagi. Bisikan-bisikan terdengar di mana-mana, semua membicarakan Chika.

“Hahh, nggak nyangka aja Ana bakal kayak gitu ke aku, padahal kan kita udah lama temenan. Haha bes..tii?” Ucap Chika dalam hati sembari memandang langit yang sudah mulai menelan matahari, memancarkan semburat oranye nan indah.

Sesampainya di rumah, Chika menyiapkan dagangan ciloknya di depan rumah. Tiba-tiba, Pak Rama dan Bu Lilik datang ke rumah Chika. Di dalam rumah,

“Chika, wali kelas kamu Bu Siti sedang ada halangan jadi beliau tidak bisa berkunjung kesini, sebagai gantinya, Bu Lilik dan Pak Rama yang datang nak. Kami kesini ingin bertemu dengan orang tuamu, mereka ada nak?” Tanya Bu Lilik.

“Maaf Bu, Pak. Orang tua saya tidak ada,”  jawab Chika.

“Boleh ditelepon?” Tanya Pak Rama

“Eee, orang tua saya sudah tidak ada Pak, sudah meninggal,” jawab Chika.

“Maaf boleh diceritakan Chika?” Tanya Bu Lilik.

“Boleh kok Bu, orang tua saya meninggal saat saya umur 4 tahun karena kecelakaan,” jelas Chika.

Pak Rama dan Bu Lilik saling tatap, lenggang sejenak.

“Ya Allah turut berduka ya nak, terus kamu tidak punya saudara?” Tanya Bu Lilik.

“Punya kok bu, tapi sudah tidak pernah kesini lagi, terakhir 5 bulan yang lalu Kakak saya pulang. Ayo Pak, Bu silahkan ini seadanya, sampai lupa hehe malah cerita panjang lebar,” Chika tersenyum memberikan dua piring cilok kepada kedua gurunya.

“Chika, kalau boleh tahu kenapa kamu jualan cilok?” Tanya Bu Lilik.

“Iya bu, soalnya kakak saya kerja di Jakarta kan udah lama nggak kasih saya uang, jadi ya sisa uang lima bulan yang lalu saat dia pulang kesini, saya buat jualan cilok, lumayan kan bu bisa praktek pelajaran KWU, bisa ditabung juga, terus nanti bisa buat bayar SPP, listrik dan…”

Tiba-tiba tanpa disadari air mata Chika menetes, padahal ia menjelaskan sambil tersenyum seperti tanpa beban. Pak Rama selaku guru yang bisa membaca pikiran siswa pun mengerti kalau Chika sudah sangat lama memendam masalahnya sendiri, sampai tak kuasa menahannya. Tubuhnya memang kuat, tapi tidak dengan hatinya.

Bu Lilik kini tengah berdiri, berpindah posisi di sebelah Chika, merangkulnya berusaha menenangkan Chika.

“Maaf bu, Chika nggak nangis kok, ini tiba-tiba keluar sendiri”, sambil tersenyum menyeka air matanya dengan jari kecilnya.

“Saya pasti akan ganti rugi kok Pak, Bu”. Pak Rama dan Bu Lilik tersenyum.

Keesokan harinya di sekolah.

“Assalamualaikum wr. wb. perhatian anak-anak, panggilan kepada Chika Isyana kelas X MIPA 3 dimohon segera menuju ruang BK!”

Di ruang BK, Chika gugup karena ia belum bisa membayar uang ganti ruginya.

Disana juga ada Bu Lilik dan Pak Rama yang justru terlihat, entahlah ekspresinya sulit ditebak oleh Chika,

“Chika, kami tidak akan meminta ganti rugi kepadamu, karena kemarin Andi sudah menjelaskan kebenarannya, ia membawa Ana dan teman saksi palsunya itu ke ruang guru, mereka semua di skors selama 1 minggu dan dikenai denda, kami minta maaf sekali karena telah menuduhmu nak,”  kata Bu Binti selaku guru BK.

“Alhamdulillah, terimakasih banyak Bu,” jawab Chika.

“Oh iya ini ada sedikit donasi dari seluruh warga sekolah buat Chika, mohon diterima ya nak. Dan pihak sekolah membebaskan SPP kamu sampai lulus,” lanjut Bu Binti.

“Terimakasih banyak Bu Chika seneng banget,” kata Chika terharu, dengan mata berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah pada Andi,” kata Bu Binti.

Dimana pun, kapan pun, dan dalam kondisi apapun, orang yang baik tetaplah baik meski orang lain berlaku jahat kepadanya. Ingatlah orang baik tidak akan kekurangan teman yang bahkan orang jahat tidak bisa menandinginya, tidak mampu menduga terselip dimanakah temannya itu.

 

KUMPULAN CERPEN PILIHAN