The Stars In The Sky

The Stars In The Sky

Krisnanti

Aubrey Vormen atau yang kerap disapa Bree, gadis yang tinggal dengan neneknya setelah kedua orang tuanya berpisah. Ayahnya seorang pemabuk berat dan acuh terhadap anaknya. Sedangkan mamanya harus dirawat di rumah sakit jiwa karena ulah ayahnya. Namun sayang, tak lama sang mama tutup usia.

Gadis ini selalu menutup diri, bahkan kepada Zackaria yang berstatus sebagai kekasihnya. Bagaimana tidak, Bree selalu tertolak dan diduakan olehnya.

Pagi ini seperti biasa Bree tidak lelap dalam tidurnya semalam. Karena kenangan dan mimpi buruk membuatnya setengah terjaga. Ia membuka matanya perlahan karena bisingnya ponsel berdering. Ternyata Zackaria, entah mengapa ia menelepon pagi-pagi buta. Apakah benar sekarang masih pagi buta?

“Bagaimana tidurmu?” tanya Zackaria dari seberang. Dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna, Bree hanya berdeham. “Akan kujemput tiga puluh menit lagi, segera bersiap!” Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Zackaria.

Bree segera mandi dan bersiap. Sementara itu, nenek sudah menyiapkan sarapan dan bekal untuknya. Dia tersenyum menatap neneknya dan berkata,”Terima kasih, Nek. Tapi aku akan membawa bekal saja.”

“Lalu bagaimana dengan sarapanmu?” Nenek mengikuti langkah Bree yang tergesa-gesa. “Aku akan beli sarapan di kantin saja,” sahutnya. Setelah dikira sudah siap, Bree membalikkan badannya lalu mencium tangan sang nenek.

Seperti yang sudah Zack katakan di telepon bahwa ia akan menjemput Bree, dan sekarang dia sudah ada di halaman rumah. Tidak banyak yang mereka bicarakan ketika bersama. Bukan karena Zack tidak peduli, namun Bree tak ingin memberi harapan.

Ting … ting … ting….

Bel masuk terdengar dari parkiran. Para murid berlarian ke arah gerbang sebelum pak satpam beraksi. Mereka segera masuk ke kelas masing-masing. Namun apa yang terjadi, Bree tidak sengaja menabrak seorang pria. “Maaf, Pak,” ucapnya langsung melesat pergi.

Bree memiliki teman yang setia menemaninya, panggil saja Ricis. Ricis merupakan teman sebangku sekaligus yang paling dekat dengannya. “Yang kamu tabrak tadi guru loh,” ujarnya.

“Kok nggak pernah liat? Tapi nggak peduli sih,” jawab Bree acuh.

“Gila kamu ya, dua kali ngajar gantiin Pak Dadang, haduh, iya sih kamu kan putri tidur.” Ricis mengakhiri ucapannya lalu mulai mendengarkan penjelasan guru. Selesai kelas Bree akan mengikuti English Club

Di lain tempat, seseorang sedang memegang buku absen. Ia fokus pada satu nama. “Aubrey Vormen. Aneh juga namanya, selalu absen English Club, tidur di kelas, ceroboh,” gerutunya.

Bree lewat dengan temannya sambil tertawa dan tersenyum pada Alan. Pria yang tidak sengaja dia tabrak pagi tadi. “Benar-benar senyum yang sempurna. Seperti kelinci kecil, menggemaskan, aku ingin melihatnya tersenyum lagi,” ujar pria bertubuh bongsor tersebut dengan lirih.

Tapi, bagaimana caranya? Seusai mengajar, Alan menuju kantin untuk membeli minum. Terlihat Bree sedang memakan bekalnya. “Hei kamu, sering sekali absen ekskul,” tutur Alan.

“Sebentar Mr, biar saya selesaikan makan dulu karena sejak pagi saya belum makan,” sahut Bree lalu kembali menyantap makanannya.

“Bukankah ketua English Club  saya sudah memberikan surat izin?” lanjutnya dengan bingung.

“Tidak, tidak pernah, bahkan kamu selalu tidur di jam kelas saya,” Alan berkata tegas.

Sekolah mulai sepi, murid-murid pasti sudah di rumah masing-masing. Mereka berdua bak guru BK yang menyidang murid nakal.  “Bisa-bisanya belum mengisi perut dari pagi,” pikir Alan.

Awan kelabu dan angin seolah mengabarkan hujan akan segera turun. Bree menghela napas panjang sembari menatap langit yang mulai gelap. “Sialnya aku terjebak di sini dan diomeli seperti di rumah.”

Tiba-tiba Bree bangkit dari bangku dan lekas mengemas barang-barangnya. Setelah dirasa semuanya sudah, ia pun menggendong tas ransel miliknya. “Maaf Mr sudah selesai? Saya harus segera pulang.”

“Loh, tunggu hujan berhenti saja, nanti saya antar,” ucap Alan sembari menarik tas gadis itu.

Bree kini tertahan di kantin. Di tengah hujan lebat, ia mulai tidak fokus, dadanya terasa sesak, pikirannya kalut karena menghadapi hujan dan Mr. Alan. Kenangan-kenangan itu terus muncul ketika hujan. Melihat mamanya yang sakit jiwa hingga meninggal di depan matanya. Serta banyak hal menyakitkan yang membuat Bree berbeda.

Gadis itu terus menutup wajahnya, ia takut menangis di hadapan orang. Bahkan Zack pun tidak pernah melihatnya menangis. “Badanmu gemetar, kamu baik-baik saja? Apa karena telat makan?” tanya Mr. Alan beruntun. Ia membaca gerak-gerik Bree dan mulai khawatir. Tak lama, terdengar isakan darinya. Astaga gadis ini menangis. “Hiks … hiks … hiks ….” Tangis Bree tidak dapat dibendung lagi.

Inilah alasan ia tak ingin melewati hujan bersama orang lain. “Kamu punya kenangan buruk?” tanya Alan sembari menenangkan.

“Aku mayat hidup, hidup dengan penuh hal buruk dan kenangan buruk. Semua orang tak pernah ingin tau seberapa deritaku, menyiksa dan menggerogoti nyawa hingga depresiku yang tak berujung. Lalu?! Aku tak punya siapa pun untuk berkata seperti ini. Tapi lihatlah sekarang! Aku berhadapan siapa, hah?!”

Tangis Bree kian pecah, isakan tangisnya menyatu dengan suara hujan. Menambah kesan kelam dalam kehidupannya. Ia membenamkan wajahnya di lutut agar Alan tak melihat wajahnya yang sudah tidak karuan sebab menangis.

“Aubrey… tidakkah kau tahu? Senyummu seindah malaikat yang mengepakkan sayapnya di pagi hari dan berkata, selamat pagi dunia!” Ah, pria ini pandai berekspresi. “Aku melihatmu demikian dan mengagumimu,” lanjutnya.

Bree mengangkat wajahnya sambil mengernyit dan tersipu. “Mister hanya kenal saya satu hari ini, kan? Temen-temen aja nggak suka sama saya. Saya ini tukang PHP, nggak pernah patuhi aturan,” ujarnya lalu tertawa kecil. “Cuma tau senyum saya yang palsu,” imbuhnya.

“Baik, aku akan menyelesaikan masalahmu dan mulai mencintaimu detik ini. Mari menikah. Jangan tanya lagi karena aku yakin kamu jodohku, te amo, Aubrey.” Alan menyatakan perasaannya secara mantap kepada gadis tersebut. Dan tanpa disangka, jantung Aubrey berdetak lebih cepat. Wajahnya memerah, ia bingung bagaimana membalas  ucapan pria tersebut.

“Eh … ayo pulang Mister, hujan sudah reda.” Biarkan saja Alan tahu bahwa dia tidak dapat berpikir jernih sekarang. Tidak ada pilihan lain selain mengalihkan topik pembicaraan. “Dunia sudah gila, terlebih seorang Alano,” batinnya.

Tak disangka Alan melewati hujan bersama Bree, bahkan mengantarkan sampai rumah sekaligus ia memperkenalkan diri kepada nenek. “Halo, Nek, saya Alano, pengajar di sekolah Aubrey. Kebetulan saya tinggal di kos-kosan yang tidak jauh dari sini,” sapa Alan dengan ramah.

Nenek menyambut Alano dengan penuh kehangatan. “Wah, iya, Nak. Terima kasih turut membawa Bree pulang.”

“Lain hari saya akan mampir lagi, Nek. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan, perihal saya dan Bree.” Mendengar Alano berkata demikian kepada neneknya, Aubrey mundur dan segera memasuki kamarnya.

Malam itu Bree berpikir keras sembari menatap bintang. Jika memang sekarang adalah waktunya untuk merubah nasib dan melihat harapan, maka ini adalah kesempatan untuknya. Meskipun Bree tidak pernah mengenal Alan, namun sekarang saatnya dia  melepas Zack. “Hm… aku akan melangkah dari saat ini, aku mengendalikan hidupku mulai sekarang. Semoga ini yang terbaik.” Bree menepuk dadanya.

Esok harinya nenek mengajak Bree berbincang. “Ada yang akan melamarmu, Bree, itu bagus. Jadi kamu tidak perlu menempel lagi dengan Zack. Pak Alan yang kemarin mengantarmu pulang, Nak, dia akan membicarakan dengan orang tuanya. Mungkin satu bulan ke depan , bagaimana tanggapanmu?”

Bree termangu mendengar penuturan neneknya. “Nanti akan aku bicarakan dengan Mr. Alan.”

“Jangan pernah menolaknya.”

“Aku mau dia menikahiku, Nek, bukan sekedar melamar,” ucap Bree secara tegas.

Satu tahun kemudian.

“Nak, lihat depan kalau jalan.” Alan meneriaki gadis kecil di depannya yang hampir jatuh tersungkur. Aubrey sibuk memotret mereka berdua. “Sayang … sudah … bawa Alesha ke sini. Ayo kita makan kuenya.”

====== 00000======

Cerpen cerpen pilihan :

    1. Aku bukan ketua panitia
    2. Masih ada mentari untuk cindy.
    3. Surat Untuk kak Zaky
    4. Aku Harus mengaji
    5. Cita citaku jadi sopir
    6. Buly
    7. Aqidah orang bodoh
    8. Realita hidup ( Juara 1 lomba menulis cerpen )
    9. Jadi teman  ( Juara 2 lomba  cerpen siswa )
    10. Maafkan aku ibu
    11. Jose
    12. The star in the sky
    13. Antara luka dan bahagia
    14. Java in tranen 
    15. Autis juga manusia
    16. Bukankah aku sama dengan lainnya
    17. Masa muda
    18. Kumpulan puisi