Java en Tranen

Java en Tranen

Devita Lutfiyah Pratiwi, X MIPA 3

Seorang gadis tengah berjalan membawa hasil kebun ke arah gudang. Setapak demi setapak ia lalui. Hidup di tanah sendiri, namun menjadi budak seperti di tanah anarki. Mereka inlander—pribumi yang diperbudak di bumi pertiwinya sendiri.

”Wonten nopo? Kok sedanten podo kumpul?” Celetuk Laras, pribumi yang di ceritakan sejak awal tadi.

“Hust, ojo banter-banter nduk. Ono Tuan Dirk.” Sunyi, begitulah suasana gudang di pagi hari ini. Tidak ada yang berani mengeluarkan sepatah, meski semua tengah mengadu pada Tuhannya.

“Hasil kalian baik, saya suka. Cukup pandai kalian bekerja. Tapi, hari ini tidak ada upah untuk kalian.” Sontak suasana yang semula tampak menenangkan, berubah menjadi panas. Wajah para pribumi terlihat sedang menyumpah-serapahi Netherland di hadapan mereka.

“Kalian baik, tapi tidak dengan 1 pencuri dari teman kalian. Gandum saya sudah dicuri. Apa kalian bisa mengganti? Nee? Tentu, kalian tidak bisa.” Tegas Dirk dengan murka. “Jadi untuk minggu ini, kalian tidak boleh dapat upah.”

“Menir, jika kami tidak mendapat upah, apa yang akan kami makan nanti. Kami sudah tidak punya apa-apa, Menir.” Kaget—semua yang berada di sana tampak terkejut. Dari banyaknya inlander yang dipekerjakan di perkebunan itu. Hanya ada satu pribumi yang berani angkat suara. Ia Laras, pribumi yang tak gentar untuk melawan londo putih.

“Siapa yang menyuruh kamu berbicara!!” Habis sudah, Dirk Van de Dort telah murka. “Lancang kau Inlander!” Dirk murka sejadi-jadinya. Baru kali ini ia mendapat perlawanan dari seorang Inlander.

“Bawa perempuan itu di bawah tanah. Jangan beri makan. Sampai saya tau kalian beri perempuan itu makan. Daging kalian yang akan menjadi makanan untuk kuda-kuda saya.” Tamat sudah—Dirk telah memerintahkan para jongosnya untuk menawan Laras.

“Nduk, cepet minta maaf ke menir. Kamu tidak akan keluar lagi dari penjara itu nduk. Cepat lakukan.” Perintah seorang wanita paruh baya kepada Laras. Namun, Laras tetap Laras. Pribumi yang tak gentar tubuhnya dioyak Netherland. “Lebih baik kalian bunuh saya. Saya hidup di tanah saya sendiri. Kalian yang pencuri, maling di negeri orang. Tapi tidak tahu malu melebihi seekor bajing yang tak beradab.”

“Tembak dia!!” Dirk mulai mengangkat senapan laras panjangnya. Semua pribumi saling menutupi telinganya. Mungkin hidup mereka akan berakhir di sini, bukan?

“PAPA!” Teriak seorang pria berumur 20 tahunan. Pria tampan, dengan pakaian mahal ‘saat itu’. Tubuh putihnya mampu membuat para ‘budak’ di sana mengenalinya dengan baik.

Ia berlari sebelum adanya pertumpahan darah. “Nee, Pa! Papa tidak boleh membunuh mereka!” Tegas Hans Dort Petra. Anak bungsu dari Dirk. “Untuk apa kamu melarang papa! Kamu tidak berhak Hans!”

“Nee, Pa. Hans berhak melarang papa! Mama yang menitip pesan. Apa papa sudah tidak mencintai mama lagi?” Suasana yang tadi seakan-akan menjadi hari terakhir seluruh pribumi itu, kini mulai meredah. Hans telah datang kembali ke Tanah Jawa. Ia akan menyelamatkan seluruh pribumi. Pikir seluruh pribumi saat ini.

“Menir? Kenapa menir tidak turun? Apa ini bukan tempat yang menir tuju?” Tak ada jawaban dari sang lawan bicara. “Apa ini bukan tempat yang ditujuh, Nona Liese?”

Liese sendiri terlihat bingung. Pasalnya, adiknya tak juga turun sedari tadi. Ia terlihat melamun. Tubuhnya tampak sangat letih. “Ah, nee. Ini benar tempat yang kami tuju.”

“Baik, Nona.” Jawab sang kusir.

Liese sedikit memukul lengan pria di hadapnnya itu. “Hans, apa kau akan menunggu kuda ini mati agar kau mau turun?!” Tegas Liese. Hans yang mulai sadar tampak gelagapan.

“Ah, ma- maaf. Saya tidak berniat membuat kamu menunggu.” Ujar Hans kepada pemilik dokar.

Hans segera turun. Setelah sekian tahun ia meninggalkan Tanah Jawa, kini ia kembali. Hiruk pikuknya masih sama persis ketika ia mengatakan selamat tinggal pada tanah kelahirannya. Namun, lain halnya dengan hati dan fikirannya. Jawanya tak lagi sama. Jawanya telah mati baginya. Dulu ketika ia pulang ke rumah kakek dan neneknya di Netherland, ia menjadi satu-satunya dari keluarga yang enggan meninggalkan Jawa cukup lama. Menjadi satu-satunya dari keluarga yang ingin mengenal Jawa lebih dalam. Menjadi satu-satunya dari keluarga yang ingin mengenal Islam lebih jauh. Dan ‘mungkin’ ia jga menjadi satu-satunya Netherland yang ingin menjadi santri di sebuah pondok pesantren.

“Apa kau ingin kembali saja ke Netherland Hans.” Liese kembali menyadarkan Hans dari lamunan. “Nee.” Jawab Hans dengan senyum ramahnya.

“Liese, aku ingin ke makam terlebih dahulu. Apa kau ingin ikut bersamaku?”

Liese menganggukkan kepalanya. “Dengan senang hati.”

Mereka mengarah kepamakaman muslim jawa. Tak ada orang lain di sana. Hanya Dort bersaudara. “Hai, Laras.” Sapa Hans setibanya di tempat yang ia tuju sedari awal. “Saya kembali. Apa kamu tidak ingin menyapa saya seperti dulu?”

“Hans, jangan menangis. Laras tidak suka melihat kamu menangis, bukan?”

“Aku tidak ingin melihat dia tidur sendiri di sini. Seharusnya saat itu aku mengikutinya hingga tiba di rumah, bukan meninggalkan. Netherland memang tidak punya hati. Mereka membunuh Laras, Liese. Mereka membuat hati Laras mengeluarkan banyak darah.” Air matanya tak terbendung. Keluh, kesah, lelah, serta pedihnya selalu tumpah di hadapan Laras. Begitupun hingga detik ini. Ia tak pernah absen bercerita tentang hari-harinya kepada Laras. Meskipun kini, Larasnya telah kembali menyatu bersama tanah.

“Hans, Netherland memang bersalah. Netherland memang tidak punya hati. Tapi apa kamu akan terus menyalahkan semua Hans? Laras berani korbankan dia karena Laras cinta Hindia Belanda. Ini memang Javanya. Tapi kamu juga harus ingat. Dalam tubuh, juga ada darah Netherland. Kamu tidak pernah mau jahat, kamu tidak mau buat inlander menangis. Tidak semua Netherland jahat. Tidak semua Netherland ingin inlander menangis. Laras tidak suka kamu tidak baik, Hans.” Tutur Liese.

Tepat sasaran. Meski tak sepenuhnya sadar, setidaknya ia mendapat pengertian yang tepat. “Maafkan saya , Laras. Tapi, saya akan tetap mencintai kamu. Saya akan tetap menunggu sampai kita bertemu kembali, di tempat baru nanti. Menikah dan hidup bersama, selamanya.”

Hans dan Laras, kisah cinta pribumi dengan penjajahnya. Kisah yang memang tidak bertahan lama, tapi tidak dengan cintanya, bukan? Tetap mencintai ketika dunia sudah berteriak ‘tidak’, telah menjadi pencapaian terbaik dalam sejarah kelam percintaan mereka. Bertahan di tengah terpaan yang semakin hari semakin menjadi. Jika boleh mereka meminta, izinkan mereka hidup dan menua bersama. Bukan tentang seperti apa rupa Hans, bukan tentang seberapa teguh seorang Laras pribumi Hindia Belanda. Namun tentang setulus apa cinta yang telah tuhan titipkan dalam setiap napas mereka.

Tak kekurangan, juga berlebihan. Setiap detik Hans hanya ada Laras, begitu pula disetiap detak Laras, selalu tersemat nama Hans dalam degupnya. “Semoga dapat bertemu di kehidupan selanjutnya, sebagai insan yang memang ditakdirkan semesta untuk bersama.” Ujar keduanya kala itu.

– TAMAT –