Bukankah Aku Sama dengan Lainnya?

Talenta Enzelita

“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Apakah ini berlaku bagi setiap warga negara yang ada di Indonesia ini? Sepertinya itu hanya ada di UUD, tidak berlaku bagiku yang cacat ini. Dari Sabang-Merauke berbagai suku, ras dan golongan terpampang nyata. Tapi apakah ada tempat bagi si cacat sepertiku?”

“Kamu apa-apaan sih? Gak guna banget sih hidup, bisanya nyusahin”

Ya begitulah omongan yang setiap hari di lontarkan teman-temannya kepada Tita yang memang disabilitas ini.

Tita. Seorang anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya seorang pemulung dan ibunya sudah meninggal saat ia masih balita. Pengguna kursi roda dengan keterbatasan fisik maupun ekonomi membuat teman-temannya semakin gencar membullynya.

“Kamu itu nggak punya malu ya sekolah di sini, sudah miskin cacat lagi! Sekolah ini untuk anak normal, baik otak, fisik dan ekonominya” ucap Alya, siswa paling famous di SMA Ganesha.

Alya Mahendra, siswi tercantik yang banyak dikagumi oleh teman lawan jenisnya. Alya anak yang berprestasi, namun karena dia selalu dimanja dengan semua fasilitas yang diberikan keluarganya membuat Alya menjadi anak yang sombong.

“Maaf Alya, aku ke sekolah nggak malu kok, aku punya hak yang sama dalam hal pendidikan di negara ini. Malahan aku senang bisa belajar bersama dengan anak-anak yang normal, tidak dikumpulkan dengan teman-teman sesama cacat” ucap Tita seraya tersenyum kepada Alya.

“Tita, kamu itu satu-satunya siswa yang cacat di sekolah ini, apa kamu nggak malu hah?!” tambah Alya.

“Aku memang tidak bisa berjalan, fisikku memang cacat tapi tidak dengan otakku, Al” imbuh Tita sembari mendorong kursi rodanya masuk ke kelas.

(Pembelajaran jam pertama)

“Baik anak-anak, yang bisa menjawab soal di papan silahkan ke depan” ucap Bu Sri, guru matematika yang mendapat julukan guru “killer” di SMA Ganesha.

“Saya Bu” jawab Tita.

Sejurus kemudian, Tita berusaha berdiri dari kursi rodanya.

Bruk.. Tubuh Tita sukses membentur keramik. Dengan jahatnya teman-teman Tita malah menertawakannya.

“Hahaha, sudah tahu cacat, masih berusaha berdiri.” “ Sudahlah Ti, duduk saja.” ucap Dina teman sebangku Alya.

“Kursi roda elite, berdiri sulit. Haha” ucap Danar, menohok hati Tita.

“Sudah-sudah, ayo Tita ibu antar ke UKS” ucap Bu Sri seraya membantu Tita duduk di kursi rodanya.

Tita hanya bisa menunduk dan menangis meratapi nasibnya sendiri. Jujur saja Tita merasa minder di SMA ini. SMA elite yang di penuhi anak-anak orang kaya. Jangan ditanya bagaimana bisa Tita masuk SMA ternama ini. Dulu Tita sering sekali mengikuti lomba bermain piano atau alat musik sejenis dan mendapatkan banyak piagam, nilai Tita di bidang akademik juga membantunya bersekolah di sini.

Setelah kejadian itu, Tita semakin jarang berinteraksi dengan orang lain. Yang biasanya ia rajin menjawab soal dipapan tulis sekarang malah hanya duduk di kursi rodanya sambil memperhatikan. Tapi, dengan sikap Tita yang seperti itu tidak membuat teman-temannya berhenti mengejeknya. Masih ada orang-orang yang terus mengejeknya bahkan dengan sengaja memperbincangkannya.

(Beberapa minggu kemudian..)

“Anak-anak, setelah ini ada lomba memainkan piano, ibu dengar di kelas ini ada beberapa siswa yang bisa bermain piano” ucap Bu Susi, guru seni musik yang paling cantik di SMA Ganesha.

“Saya Bu selalu menang kalau ikut lomba musik, pilih saya saja Bu” ucap Alya mengajukan diri.

“Ya baiklah Al, kamu akan ibu ikutkan lomba. Tapi, ibu perlu satu perwakilan lagi. Tita, ibu dengar kamu dulu pernah memenangkan lomba yang sama, kamu ibu tunjuk untuk ikut bersama Alya” ujar Bu Susi.

“Baik Bu” jawab Tita seraya tersenyum.

Di lain sisi Alya merasa kepanasan saat tahu saingannya adalah musuhnya. Di sepanjang latihan dan pembinaan bersama Bu Susi Alya terus saja merendahkan Tita.

“Ti, kamu itu sudah miskin, harusnya kamu tidak usah ikut lomba ini. Mana bisa kamu membeli piano untuk latihan. Kamu itu nggak layak ikut perlombaan” hardik Alya terus menyombongkan diri.

“Tidak apa Al, aku akan terus berlatih” ucap Tita.

“Wah, kalian sudah lancar bermain piano. Untuk lomba besok ibu harap kalian mempersembahkan yang terbaik “ ucap Bu Susi.

“Baik Bu” ucap Alya dan Tita bersamaan.

(Hari perlombaan)

Tita dan Alya sama-sama sudah tampil. Itu artinya mereka tinggal menunggu pengumuman siapa yang menjadi juara.

“Baik.. adik-adik kalian jangan tegang dulu, sekarang kami akan menyampaikan pengumuman siapa yang menjadi pemenangnya” ucap MC membuat setiap orang yang ada di ruangan itu merasa deg-degan.

Atmosfer di ruangan pengumuman berbeda dari ruangan yang lain. Saingan sangat berat dan hebat, mulai dari berbagai provinsi dan sekolah di Indonesia.

“Juara 3 diraih oleh Syahzila Nessa Rifa Aidah dari Jakarta” ucap MC disertai tepuk tangan yang bergemuruh di seluruh ruangan.

Juara 2 akan segera diumumkan, hati Tita semakin tak karuan dibuatnya. Sedangkan Alya merasa yakin bahwa dia menjadi pemenang.

“Juara 2 diraih oleh Provinsi Jawa Barat yang diwakili oleh Ayu Dewi Putri” tepuk tangan semakin bergemuruh saat MC mengumumkan juara kedua.

Bu Susi, Alya, maupun Tita sama-sama merasa tegang. “Dan juara pertama diraih oleh…”

Udara di penjuru ruangan terasa menghilang. Semua orang menulikan telinga dan hanya fokus mendengar siapa yang menjadi pemenangnya.

“Karina Tita” suara lantang dari MC bercampur riuh tepuk tangan membuat Tita masih tidak percaya.

Tita! Karina Tita yang selalu dibully teman-temannya karena keterbatasannya bisa memenangkan lomba.

“Selamat untuk Karina Tita dari Jawa Timur, dipersilakan menuju ke atas panggung untuk mengambil hadiah”. Tambah MC seraya melirik Tita dan tersenyum.

Sedangkan Alya, dengan hati dongkol iya menerima kemenangan Tita.

(Keesokan harinya di sekolah)

“Baik anak-anak, ibu ingin menyampaikan sesuatu. Teman kalian, Tita, berhasil memenangkan lomba dan mengharumkan nama sekolah. Ibu ingin kita foto bersama sebagai kenang-kenangan bersama Tita” ucap Bu Susi seraya menunjuk Tita.

Dengan cepat Tita berusaha mendorong kursi rodanya ke depan kelas. Namun, kursi roda Tita terasa berat karena memang sudah cukup tua.

“Sini aku bantu, Ti” ucap Dina yang mulai baik kepada Tita bersama beberapa siswa seraya membantu Tita mendorong kursi roda milik Tita. Mereka pun berfoto bersama dengan Tita membawa piala kemenangannya.

 (Beberapa waktu setelah kemenangan Tita)

Kemenangan Tita dalam lomba piano bukan lantas menjadikan dia diterima di sekolah. Alya yang super famous di sekolah itu dengan berbagai cara menghasut teman-temannya bahwa kemenangan itu bukan murni dari Tita. Tapi hasil dari curang. Bagaimana tidak curang coba. Piano saja tidak punya Tita bisa menang lomba. “Aneh,kan”, hasut Alya kepada temantemannya. Alhasil seantero penjuru sekolah membicarakan kecurangan yang tidak dilakukan oleh Tita.

Bisik-bisik ini sampai juga kepada telinga Tita. Hal ini membuat Tita semakin berpikir. “Bukan aku yang ingin terlahir seperti ini. Orang tuaku pun juga tak ingin aku seperti ini.” Tita meratapi kekurangnnya. “Adakah sekolah yang bisa menerimaku apa adanya? Tanpa melihat kekuranganku lebih dulu”. “ Atau benar, aku harus berkumpul dengan teman-teman yang sama cacatnya denganku? Apakah aku tidak berhak hidup normal dan berkumpul dengan orang-orang yang normal?”

“AKU JUGA WARGA NEGARA INDONESIA PUNYA HAK YANG SAMA DALAM NEGARA INI!” teriak Tita di balik cendela aula lantai dua di SMA Ganesha. Teriakan itu adalah luapan frustasi yang mendorong tangan Tita untuk mengayuh roda kursinya keluar dari candela….

~Tamat~

Cerpen cerpen pilihan :