Autis Juga Manusia

@shapayaya

Usiaku baru saja menginjak 13 tahun. Tak perlu ku beri tahu, kalian pasti tahu aku kelas berapa. Yapsss, aku baru saja resmi menjadi salah satu siswa smp favorit di kota ku. Perlu kalian ketahui, aku bukan anak biasa, tetapi anak luar biasa. Walaupun banyak orang menyebutku anak luar biasa, aku tidak merasa bangga karena itu sebatas kalimat penenang agar aku dapat menerima kekurangan mentalku ini.

Sejak aku lahir, aku memiliki keterbelakangan mental. Aku adalah salah satu dari banyaknya anak yang menderita autis. Sakit merupakan satu kata yang mewakili perasaanku ketika mendengar sebutan ‘’Si Autis’’. Walaupun sudah tidak asing di telingaku, rasa sakit itu tetap bertambah setiap kali mendengarnya.

Sebenarnya orang tuaku memaksaku untuk sekolah di sekolah luar biasa atau homeschooling karena takut aku di bully. Namun, aku yakin bahwa siswa-siswi sekolah baruku baik-baik dan tidak ada pembullyan.

Hari pertama masuk sekolah setelah mpls, aku sangat exited karena senang dapat sekolah di sekolah umum dan yakin tidak akan mendapatkan perlakuan buruk. Disisi lain, aku berharap mendapatkan pelakuan yang adil dan baik oleh warga sekolahku. Namun, terkadang realita tak seindah ekspetasi. Baru saja pembagian kelas. aku tidak memiliki teman sebangku. Aku duduk diam di bangku pilihanku, yaitu bangku paling depan bagian tengah. Aku selalu tersenyum, walau aku tahu bahwa senyumanku dimata orang lain terlihat berbeda. Bukannya tampak ramah, melainkan tampak menyedihkan.

‘’Halo!’’ sapaku pada teman sebelah kanan bangkuku.

Bukannya membalas senyumanku, dia malah ketakutan dan pergi keluar kelas. Sebenarnya sakit melihat responnya seperti itu, tapi aku sadar bahwa tidak semua orang bisa menerima kekurangan orang lain.

‘’Mana anak gila yang disebut anak tadi?’’

‘’Kok bisa anak gila masuk sekolah favorit?’’

‘’Jangan berteman sama anak gila itu, nanti ikut jadi gila’’

‘’Bla bla bla…..’’

Suara gemuruh dari luar kelasku, membangunkan kepribadianku yang lain.

Walaupun mentalku tidak sepenuhnya sehat, namun pendengaranku sepenuhnya berfungsi. Setiap aku mendengar sebutan aku gila, sisi lain dari diriku marah besar. Aku berteriak, menangis, berlari tanpa arah. Semua orang aku tabrak dan dorong. Semua menganggap kegilaanku kambuh. Tak ada yang berani memberhentikan dan menenangkanku.

Aku memilih bersembunyi di lorong sebelah kamar mandi siswa. Yang bisa ku lakukan hanyalah menangis dan membenturkan kepalaku di dinding.

‘’Hei! Stop! Jangan lakukan itu!!’’ teriak seseorang di depanku dengan radius sekitar 5 meter.

Aku menghentikan kegiatanku itu. Bukannya tenang, aku malah ketakutan karena takut disakiti olehnya. Aku berangsur menjauh darinya, bukannya menjauhiku dia malah mendekatiku dengan membuka kedua tangannya seakan ingin memberiku pelukan penenang.

Karena gerak geriknya tak menunjukan akan menyakitiku, aku memberanikan diri menatapnya dengan kondisi yang berantakan. Perlahan, dia mendekat dan duduk di depanku. Tak ku sangka, tanpa jijik dia mengelap air mata dan ingusku. Aku tersenyum kepadanya sebagai ucapan terimakasih, dia membalas senyumanku dengan senyuman manisnya, aku sangat senang sekali karena dia satu-satunya temanku yang tidak takut dengan senyuman itu.

Sikap baik dan tulusnya dia, membuat kemarahanku menghilang. Dia terus mengelus punggungku untuk menenangkan ku.

‘’Halo? Kamu tidak apa-apa, Rangga?’’ tanyanya padaku.

‘’K-kamu tau nama Rangga?’’ tanyaku terkejut.

‘’Iya, kenalin aku Ayu,’’ ucap Ayu memperkenalkan diri.

‘’Sekarang, kamu gak usah ngerasa takut. Aku, akan jagain kamu sebisa mungkin dari kejahatan temen-temen yang lain,’’ sambungnya.

Aku memeluknya dengan erattttt sekali. ‘’T-terimakasih s-sudah m-mau j-adi t-temannya Rangga,’’ bisikku kepadanya dengan terbata-bata.

‘’Sama-sama, Rangga’’, balasnya dengan menepuk-nepuk punggungku.

Jika kalian pikir dengan adanya Ayu sebagai pelindungku, aku sudah tidak mendapatkan perlakuan bully, kalian salah besar. Mereka selalu mencari kesempatan untuk membully ku. Orangtuaku setiap hari memohon agar aku mau untuk homeschooling karena orangtuaku sangat mengkhawatirkan mentalku. Namun, aku tetap menolak karena homeschooling sangat membosankan.

Membullyku dengan kekerasan dan menambah kerusakan mentalku sepertinya tidak cukup bagi mereka. Saat itu, aku diajak main para pembully. Namun, aku tetap berpikir positif jika mereka mau berteman denganku. Tetapi, nyatanya mereka menjebakku. Disaat aku melempar sepatu, dengan sengaja mereka mengarahkan tanganku ke arah guru penjasorkes yang terkenal sangat kejam di kalangan siswa. Aku takut, aku mendekati beliau dan meminta maaf.

‘’Hikss..hikss..maaf,’’ ucapku ketakutan

Beliau tidak menjawab permintaan maafku, melainkan dia menarik paksa tanganku dan di bawa ke ruang bk. Di dalam ruang bk, aku tak bisa duduk diam karena kepribadianku yang lain memaksa untuk menggantikan kepribadian normalku ini. Melalui telingaku, aku mendengar semua rekayasa guru penjasorkes mengenai kejadian tadi. Beliau, melebih-lebihkan kejadian tadi dan memojokkanku sebagai pelaku.

Satu kalimat menyakitkan keluar dari mulut beliau, ‘’Saya minta, keluarkan Rangga dari sekolahan ini. Anak seperti itu tidak pantas sekolah di sekolahan umum, apalagi di sekolahan favorit. Memalukan’’. Setelah mengucapkan itu, beliau meninggalkan ruangan.

Bu Atik selaku guru bk menyuruhku untuk duduk dan memberiku air mineral. ‘’Rangga, kamu disini dulu ya, ibu telponkan mama dan papamu,’’ ucapnya dengan halus.

Tak lama kemudian, mama dan papa datang. Mereka diajak diskusi bersama beberapa guru, salah satunya kepala sekolah. Jujur, aku takut jika dipindahkan atau homeschooling. Aku takut jika meninggalkan Ayu. Aku tidak mau hal itu terjadi.

‘’Sayang,’’ panggil mama dengan lembut.

Aku mendekat ke arah kumpulan orang-orang menyebalkan itu.

‘’Rangga pindah ke sekolah yang lebih mewah ya? Kita tinggalin sekolah ini,’’ ucap papa padaku.

Aku menggeleng sebagai tanda penolakan. ‘’Kenapa tidak mau?’’ tanya bu Atik.

‘’Rangga, g-gak mau ninggalin Ayu,’’ jawabku.

‘’Ayu?’’ tanya mama.

‘’Sa-sahabat Rangga,’’ jawabku dengan senyuman di akhir.

‘’Sebentar, saya panggilkan Ayu untuk berpamitan dengan Rangga,’’ ucap bu Atik sebelum meninggalkan ruangan.

Aku menangis sesenggukan, aku tidak siap untuk kesepian lagi. Tak lama kemudian, bu Atik datang bersama Ayu. Tanpa meminta izin, dia memelukku. ‘’Kamu kenapa nangis, Rangga?’’ tanyanya bingung. Aku tak menjawab, aku memeluknya dengan erat seakan tak ada kesempatan lagi untuk aku memeluk tubuh kecil sahabatku ini.

‘’Begini Ayu, Rangga akan kami pindahkan, kamu bisa berkunjung ke rumah jika ingin bertemu Rangga, terimakasih sudah menjaga Rangga selama dia bersekolah di sini dan maaf jika Rangga pernah menyakitimu,’’ ucap mama Rangga sebagai ucapan terimakasih, maaf, dan pamit sekaligus.

Setelah mendengar ucapan mama, Ayu menangis tersedu-sedu. ‘’Rangga, kenapa pindah?’’ tanyanya menuntut kejelasan. Aku hanya menggeleng. ‘’Rangga, Ayu gak mau kehilangan kamu! Please, jangan pindah!’’ pinta Ayu.

Dengan tak tega, mama dan papa Rangga melepaskan pelukan mereka. Ayu yang masih menangis dipegangi oleh bu Atik dan Rangga perlahan di bawa keluar ruangan oleh orangtuanya. Di depan pintu ruang bk, sudah dipenuhi kerumunan siswa lain. Semua tak tega melihat Ayu menangis tersedu-sedu karena berpisah dengan Rangga.

Ayu memberontak dan menyusul Rangga menuju halaman sekolah. Ayu melambaikan tangannya kepada Rangga yang berada di dalam mobil sana. Ayu dapat melihat balasan lambaikan tangan Rangga di dalam mobil sana.

‘’RANGGA! BAIK-BAIK DI SEKOLAH BARU KAMU YA! JANGAN LUPAIN AYU! AYU SAYANG RANGGA!’’ teriaknya saat mobil Rangga mulai meninggalkan halaman sekolah.

Tak ada yang bisa Ayu lakukan selain menangis untuk meluapkan amarah dan kesedihannya. Ia marah karena tidak bisa menjaga Rangga dari bullyan teman-temannya dan sedih karena tak memiliki banyak kesempatan lagi untuk bertemu dengan Rangga.

 

Pesan author untuk readers :

Bertemanlah pada siapapun tanpa melihat kekurangan satu sama lain. Semua orang memiliki kekurangan dan semua orang membutuhkan teman. Tak ada yang berhak untuk menghakimi orang lain karena kekurangannya. Janganlah merasa lebih tinggi dari orang lain, hanya karena kelebihanmu merupakan kekurangan orang lain.

Cerpen cerpen pilihan :