YOSSE

YOSSE

Aku berjalan di lorong kelas 11 yang masih sepi. Jam tanganku menunjukkan pukul 6 pagi, jadi masih sedikit murid yang datang ke sekolah. Aku berhenti sejenak dan melihat ke arah ruang musik yang berada di lantai dua. Seorang laki-laki tengah berdiri sendiri di sana, aku belum pernah melihatnya sebelumnya, mungkin karena memang aku jarang keluar kelas jadi aku tidak mengenalinya, ketika aku tengah melihatnya, tiba-tiba dia melihatku. Seketika aku langsung mengalihkan pandanganku dan berjalan pergi dengan cepat.

“Ah aku benar-benar malu.” Aku menggerutu pelan, dan mencoba menutupi wajahku menggunakan tangan. Aku memasuki ruang kelas 11 MIPA 1, lalu segera mengeluarkan handphoneku untuk mencoba mengalihkan rasa maluku. Satu-persatu murid berdatangan dan membuat suasana SMAN BANDARKEDUNGMULYO menjadi ramai.

Waktu pulang sekolah tiba. Seluruh murid berdesak-desakan ingin segera keluar dari sekolah, aku hanya duduk sendiri di dalam kelas karena sepulang sekolah aku memiliki jadwal ekstra musik. Aku memakai earphoneku agar tidak mendengarkan suara yang begitu bising, setelah merasa suasana sudah sunyi, aku melepaskan earphoneku dan segera melangkah menuju ke ruang musik.

“Zea,” sapa seseorang dari arah belakangku.

“Eh Naya, ada apa?” Tanyaku.

“Anak-anak musik yang lain masih di kantin, latihannya diundur 20 menit lagi, kita ke kantin yuk,” ajak Naya bersemangat.

Aku berpikir sejenak.

“Aku nggak ikut Nay, aku tunggu di ruang musik aja,” aku tersenyum tipis.

“Oke, tapi kalau ada apa-apa nanti telfon aku ya,” jawabnya dengan raut wajah yang terlihat khawatir. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan segera pergi ke ruang musik.

Saat aku menaiki tangga menuju ke ruang musik, samar-samar aku mendengar alunan nada yang begitu familiar. Karena penasaran aku segera menaiki tangga untuk menuju ke sumber suara tersebut.

“Ini kan nada Für Elise dari Beethoven.” Aku sangat penasaran siapa yang memainkan nada dengan seindah ini, aku segera membuka pintu ruang musik agar dapat melihatnya.

Seorang laki-laki tengah memainkan piano dengan serius. Tangannya begitu lincah menari di atas tuts piano. Aku melihatnya dengan begitu kagum.

“Sangat indah.” Ucapku tanpa sadar. Orang itu pun berhenti memainkan piano, dan berjalan menghampiriku. Aku terkejut karena dia mendengar ucapanku, aku hanya terdiam di tempat dengan gugup.

“Siapa kamu?” Tanyanya lembut.

“A-aku Zea, kamu?” Tanyaku kembali.

“Aku Yosse.” Laki-laki itu kemudian tersenyum dan menyodorkan tangannya kepadaku.

“Salam kenal Zea,” ucapnya.

“Salam kenal.” Aku ikut tersenyum. Dia memiliki wajah yang damai, dia sangat ramah.

Hari-hari berlalu. Aku sangat sering menghabiskan waktu di sekolah bersama Yosse, dia sangat baik, dia mengajariku memainkan piano dengan lagu kesukaannya Für Elise. Dan aku rasa aku juga suka padanya. Sebentar lagi aku akan segera tampil di acara pesta ulang tahun sekolah, aku akan tampil solo dan membawakan lagu kesukaan Yosse, aku benar-benar tidak sabar membawakan lagu tersebut.

“Zea,” sapa Naya. Aku menoleh ke arah Naya.

“Kamu akhir-akhir ini sering sekali ke ruang musik sendiri, apa kamu nggak takut?” Naya memasang wajah ketakutan.

“Maksud kamu apa? Memangnya apa yang perlu aku takutkan?” Tanyaku.

“Apa kamu nggak tahu, kalau di ruang musik itu angker? Di sana pernah ada orang yang meninggal, dan banyak murid yang mendengar piano di ruangan itu berbunyi sendiri dengan lagu yang selalu sama, yaitu Für Elise,” bisiknya.

“S-siapa nama orang yang meninggal itu?” Tanyaku begitu penasaran.

“Ah aku lupa, siapa ya? Yo-Yos-“

“Yosse?” Potongku.

“Ah Iyah Yosse, dia meninggal pada tahun 2004,” ucap Naya. Aku sangat terkejut tentang hal tersebut, aku benar-benar tidak percaya.

“Tidak mungkin!” Aku segera berlari menuju ke ruang musik berharap mendapatkan jawaban dari Yosse.

“Yosse!” Teriakku. Aku melihat Yosse tengah memandang langit dengan wajah yang begitu tenang. Dia kemudian melihatku dan tersenyum dengan lembut.

“Yosse apa itu benar, jika benar kenapa kamu melakukan ini?” mataku mulai berkaca-kaca.

“Maafkan aku Zea aku tidak memberitahumu dari awal. Itu terjadi sebelum aku akan tampil di acara sekolah, aku berada di depan ruang musik ini, hari itu aku sangat senang sehingga tanpa aku sadari aku terpeleset dan aku terjatuh, sayangnya nyawaku sudah tidak bisa tertolong. Aku tidak bisa tenang Zea sebelum membawakan lagu ini, dan akhirnya aku bertemu denganmu. Aku sangat senang karena aku akhirnya memiliki teman lagi setelah sekian lama sendiri, dan jika aku jujur padamu aku takut kamu akan pergi meninggalkanku, tolong maafkan aku.” Yosse mendekat lalu menghapus air mataku. Tatapannya begitu sayu. Aku hanya terdiam mencoba menenangkan perasaanku.

“Baiklah aku memaafkanmu.” Aku mencoba mengerti bagaimana perasaannya, pasti dia juga merasa kesepian selama ini.

“Terima kasih banyak Zea. Zea, aku memiliki permintaan terakhirku, apa kamu bersedia menampilkan lagu tersebut di pesta ulang tahun sekolah nanti? Aku akan sangat berterima kasih apabila kamu bersedia menampilkan lagu tersebut.” Yosse menatapku dengan lembut.

“Aku akan tetap menampilkannya untukmu Yoss.” Aku memandangnya dan tersenyum.

Malam pesta ulang tahun SMAN BANDARKEDUNGMULYO telah tiba. Aku mengenakan gaun berwarna hitam, dan bersiap untuk tampil. Aku melihat semua orang sudah berkumpul, termasuk Yosse. Dia duduk di kursi penonton yang kosong, dia terlihat sangat tampan mengenakan setelan jas berwarna hitam. Terlihat Yosse tersenyum kepadaku. Aku pun segera memulai penampilanku, aku memainkan piano dengan penuh perasaan, tanpa aku sadari air mataku ikut terjatuh. Aku mencurahkan semua yang kurasakan lewat nada tersebut. Setelah selesai, aku segera menuju ke lapangan untuk menenangkan perasaanku.

“Kamu sangat cantik Zea.” Yosse menghampiriku dengan membawa setangkai mawar. Aku hanya diam saja menatapnya.

“Terima kasih, kamu telah mewujudkan permintaan terakhirku.” Yosse memberikan mawar itu kepadaku.

“Sebelum aku pergi, ada yang ingin aku katakan padamu. Bahwa aku mencintaimu Zea,” ucap Yosse. Aku sempat terdiam karena terkejut oleh ucapan Yosse.

“Aku juga mencintaimu Yosse,” jawabku dengan mata berkaca-kaca.

“Apa kamu benar-benar akan pergi meninggalkanku?” Tanyaku pelan. Yosse tersenyum kecut.

“Maafkan aku Zea, aku mencintaimu namun aku sadar kita memiliki dunia yang berbeda.” Air mataku kembali jatuh lagi.

“ Aku tidak akan pernah melupakanmu Zea.” Dia tersenyum dengan lembut, Yosse menarikku ke dalam pelukannya. Aku melihat cahaya terang muncul dari tubuhnya, perlahan tubuhnya mulai menghilang.

“Aku rasa sudah waktunya aku pergi, selamat tinggal.” Yosse mengecup dahiku kemudian dia tersenyum. Setelah mengatakan itu Yosse benar-benar menghilang. Tangisanku semakin pecah di tengah suasana malam, aku tidak ingin dia pergi meninggalkanku untuk selamanya.

Setelah berusaha menenangkan diri, aku menatap ke arah langit yang penuh dengan bintang dan cahaya bulan yang bersinar begitu indah.

“Aku juga tidak akan pernah melupakanmu, Yosse.” Aku mencoba tersenyum dan tegar atas kepergiannya.

============= 0000 =====