Masa Muda

Masa Muda

Melysa (12 IPS 1)

 Sore itu langit membiru, cerah disinari matahari sore yang hangat saat Harsha pulang sekolah berjalan kaki menuju ke Perpustakaan Kota. Setiap hari sabtu, Harsha selalu melungkan waktu mengunjungi perpustakaan yang tak jauh dari sekolahnya.

Kesempatannya hanya hari itu. Di lain hari dia harus pulang lebih cepat sebelum Ayahnya sudah sampai di rumah. Dia tidak ingin bermasalah dengan Ayahnya hanya karena membaca buku-buku selain pelajaran di perpustakaan. Ayahnya sangat membenci itu.

Berhubung hari sabtu dan jam pulang Ayahnya masih lama, Harsha bisa memanjakan dirinya dengan buku-buku yang sudah lama ia rindu. Matanya berbinar melihat rak-rak menjulang tinggi dengan berbagai macam buku yang ada di perpustakaan itu.

“Harsha,” panggil seseorang, disaat Harsha ingin mengambil buku novel yang ada di depannya. Harsha mengurungkan itu, lantas menoleh pada pemilik suara.

Harsha seketika tersenyum saat tahu dia tidak sendirian disana. Ada Fanda, teman satu kelasnya juga satu bangkunya.

“Hai, Fan!” Harsha menyapa girang. Selama ini, dia jarang menjumpai teman sekelas ataupun sekolahnya mengunjungi perpustakaan di hari sabtu. Karena mereka lebih memilih hari lainnya daripada hari itu.

“Udah lama?” tanya Fanda. Harsha menggeleng pelan dengan diiringi seulas senyuman di bibirnya. “Baru aja sampai.” Fanda mengangguk paham.

“Masih aja setiap sabtu ya ternyata?” Harsha terkekeh. Dia paham dengan ucapan temannya.

“Mau gimana lagi? Hanya hari ini yang aku bisa. Kamu sendiri, tumben kesini?”

“Ya… seharusnya hari kamis kemarin sih. kamu tahu sendiri kan, aku gak masuk sekolah hari itu.”

“Oh iya. Aku kira bakal hari jumatnya kamu kesini.” Fanda menggeleng. Kemudian dia bersuara, “sengaja hari sabtu sih. Karena aku mikirnya pasti ketemu kamu, Har. Jadi gak bosen kalau ada temannya.” Harsha hanya mengangguk. Dia tidak berniat melanjutkan percakapannya. Nanti waktu luangnya akan terpotong sia-sia.

“Aku cari buku dulu ya, Fan?” Fanda mengangguk dan mempersilakan Harsha.

Harsha menjelajahi buku di setiap rak. Dia larut dengan kegiatannya hingga lalai pada waktu yang tersisa. Tapi tidak membuat dia terlambat untuk pulang ke rumahnya.

Ketika Harsha asik membaca buku dengan tenang, ponselnya yang ada di saku celananya bergetar. Menandakan ada panggilan masuk. Harsha mengambil ponselnya lalu melihat siapa yang telah mengganggu di waktu senggangnya. Ternyata Kakaknya telah menghubunginya pada Harsa dan mengirim pesan singkat padanya. Seketika itu Harsa terlonjak kaget. Bukannya diangkat, Harsha langsung buru-buru mengembalikan semua buku yang ia pinjam lalu dia keluar dari perpustakaan.

Dia tidak sempat berpamitan pada Fanda yang masih sibuk mencari buku. Harsha berlari ke arah sekolahnya. Dia tidak peduli dengan orang-orang yang berlalulalang, bahkan tidak peduli dengan tatapan orang-orang  yang kemungkinan pikiran mereka sudah menerka-nerka.

Tidak membutuhkan waktu lama, Harsha sudah dekat dengan sekolahnya. Dia melihat Kakaknya yang duduk di atas motor dengan menoleh kesana kemari seperti mencari keberadaannya. Harsha berjalan normal dan mengatur pernapasan. Kemudian dia menepuk bahu Kakaknya perlahan ketika dia sudah berada di belakang Kakaknya.

“Darimana aja kamu!? Kakak disini udah nunggu kamu lama. Kenapa muncul dari belakang? Darimana?” Wajah Kakaknya terlihat merah. Entah karena sudah kesal atau kepanasan karena matahari sangat terik.

“Maaf.”

“Kakak tanya sama kamu! Jangan cuma minta maaf. Kakak pasti memaafkan kamu.”

Harsha menunduk. Dia tidak suka dimarahi di tempat umum seperti itu. Pasti dia menjadi tontonan publik. Harsha mengambil nafas panjang. “Aku dari perpustakaan.”

“Ya sudah, ayo pulang! Ayah sudah berada di rumah sekarang. Makanya Kakak jemput kamu.” Harsha hanya bisa mengangguk patuh. Pastilah Ayah yang sudah menyuruh Kakaknya untuk menjemput Harsha.

*****

Sesampainya di rumah, Harsha mengekori Kakaknya ketika masuk ke dalam rumah. Dia tidak berniat mendahului maupun berjalan terlalu akhir. Mentalnya sekarang setipis benang. Entah bagaimana dia akan menjawab pertanyaan Ayahnya nanti.

Dan benar, Harsha sudah disambut Ayah dan Ibunya di ruang tamu. Wajah mereka terlihat serius. Pasti setelah ini Harsha akan disuruh duduk sebentar di ruang tamu.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.” Harsha menghampiri orang tuanya dan mencium tangan mereka.

“Harsha,” panggil Ayah kemudian.

“Iya, Ayah?” respon Harsha.

“Kamu duduk sebentar disini.” Harsha hanya mengangguk patuh. Menolak pun pasti dia akan dapat masalah yang berujung Ayahnya mengomel. Daripada dia mendengar omelan Ayahnya, lebih baik dia menurut walaupun dengan berat hati.

“Kapan kamu daftar kuliah?”

“Belum ada informasi mengenai itu, Yah.” Ayahnya mengangguk paham.

“Kapan ujian kelulusannya?”

“Dua minggu lagi.” Ayahnya mengangguk paham.

“Kamu selama ujian jangan keluar. Fokus belajar saja di rumah. Kalau sudah ada informasi pendaftaran kuliah, kamu tahu kan harus daftar jurusan apa?”

Harsha mengangguk lemah. “Yah, kalau aku gak mampu dalam bidang kedokteran bagaimana?”

“Kamu mampu!” sela Ayahnya cepat.

“Aku tidak bisa masuk ke dalam 3 besar.”

“Salah kamu sendiri kenapa tidak berusaha untuk masuk ke dalam 3 besar? Sudah ayah peringatkan dari jauh hari kan? Kamu yang selalu meremehkan omongan Ayah dan tidak belajar dengan sungguh-sungguh.”

“Aku sudah usaha, Yah. Memang kemampuan aku hanya segitu.”

“Kamu belum berusaha, Harsha. Kamu malas, tidak peduli. Kamu kira Ayah tidak tahu itu?”

“Harsha selalu giat belajar, Yah.”

“Giat belajar pastinya akan masuk ke dalam 3 besar. Sudah, kamu masuk, lekas mandi lalu makan. Ayah lelah kalau kamu ajak debat masalah itu lagi.” Akhirnya, Ayahnya menyudahi pembicaraan sore itu. Ayahnya lebih dulu meninggalkan ruang tamu.

“Harsha, kamu istirahat. Jangan main hp. Nanti setelah Ashar kamu buka toko,” ujar Ibu.

“Iya, Bu. Aku ke kamar dulu.” Lantas Harsha beranjak pergi dari ruang tamu.

Harsha bejalan sedikit sempoyongan karena lelah telah berlari paksa dari perpustakaan ke sekolah.

Di dalam kamar, Harsha meletakkan tas nya sembarang lalu dia berbaring di atas tempat tidurnya. Pikirannya sedang kemana-mana. Dia memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk dan baik yang akan terjadi kedepannya. Istilah gaulnya sekarang adalah overthingking. Ya, Harsha sedang overthingking, memandangi dinding kamarnya dengan tatapan kosong.

Harsha tengah memikirkan hidupnya selama ini. Seingatnya, dia selalu mematuhi segala sesuatu yang diperintahkan oleh orang tuanya. Tidak pernah sekali dia membantah ataupun mengeluh. Namun, akhir-akhir ini Harsha merasakan kehidupannya kian berat dan banyak sekali tanggungan yang ia pikul. Semenjak naik kelas 3 SMA, orang tuanya selalu menuntut ini dan itu. Jujur saja, Harsha juga lelah melakukan semuanya. Apalagi Ayahnya yang kini selalu mendorong Harsha untuk melanjutkan pendidikannya ke dalam Bidang Kedokteran.

Harsha sadar diri, dia tak mampu dalam bidang tersebut. Yang dia inginkan bukan menjadi Seorang Dokter. Tapi dia ingin menjadi seorang Pujangga, membuat sajak yang indah, bercerita tentang pahit dan manisnya kehidupan dengan kalimat indah penuh makna. Namun, tidak ada satupun orang yang mengerti kemauannya dan impiannya itu. Dia selalu saja dituntut dengan apa yang tidak bisa ia lakukan.

●●●

Di senin pagi nan cerah, ketika matahari mulai melihatkan semburat jingga, Harsha membuka folding gate tokonya dengan sekuat tenaga. Sebuah rutinitas di setiap hari dan tidak akan pernah berhenti. Kalau saja berhenti karena alasan apapun, Ayahnya tidak akan berhenti mengomel pada Harsha.

Setelah tokonya sempurna terbuka, dia mulai membersihkan etalase-etalase yang berdebu dengan kemoceng hingga bersih, kemudian dia menyapu seluruh rumah dari belakang sampai ke depan.

Setelah semua kegiatan rutinnya selesai, Harsha bersiap untuk berangkat ke sekolah diantar oleh Kakaknya. Tidak lupa, Harsha selalu berpamitan dan mencium tangan kedua Orang Tuanya.

Di perjalanan menuju sekolah, pandangan Harsha menangkap beberap anak sekolahan sebayanya yang memakai motor sendiri saat berangkat ke sekolah. Seharusnya dia juga merasakan hal yang sama. Namun, keadaan perekonomian keluarga Harsha tidak sama dengan mereka. Bukannya Harsha tidak beryukur. Hanya saja dia merasa ingin sekali berbuat sesuka hatinya di usianya sekarang sebelum dia menjadi dewasa.

Harsha ingin tahu bagaimana rasanya mempunyai teman dekat dan bisa saling mengandalkan. Dia juga ingin tahu bagaimana rasanya bermain dengan teman-teman hingga tidak mengenal waktu. Karena yang Harsha lakukan selama ini hanya tentang dirinya sendiri. Dia setelah sekolah langsung pulang, tidak akan mampir kemana-mana, kecuali hari sabtu. Itupun waktunya terbatas dan dia hanya menyenangkan dirinya dengan buku bukan dengan seorang teman. Ketika hari libur sekolah pun, Harsha masih belum bisa keluar rumah dengan alasan main dengan teman-temannya. Pasti ketika izin untuk keluar, Ayahnya menyuruhnya untuk tetap di rumah dan menjaga toko sepanjang hari. Terus saja seperti itu. Lantas kapan dia merasakan bahagia? Dia ingin tumbuh seperti anak-anak seusianya. Dan dimana letak kebahagiaan Harsha selama ini?

Harsha berhak bahagia di usia mudanya. Bagaimana keadaannya nanti jika akan terus menerus seperti ini. Harsha memang orang yang kuat, sabar dengan segala cobaan. Namun jika terus-terusan seperti itu, mentalnya juga akan terganggu.

“Harsha, udah sampai!” Kakanya sedikit berteriak. Harsha tidak sadar karena lamunan yang berhasil menguasai dirinya.

Harsha terlonjak, kemudian dia turun dari motor lalu langsung masuk ke sekolahannya tanpa ada kata pamit kepada Kakanya. Rupanya pikirannya sedang tidak berjalan normal.

Harsha masuk ke dalam kelas yang sudah ramai. Teman-temannya sibuk melakukan kegiatannya masing-masing. Harsha langsung menuju ke bangkunya yang sudah ada Fanda dengan buku di tangannya. Harsha cuek, dia langsung duduk tanpa menyapa Fanda terlebih dahulu. Ini bukan Harsha yang seperti biasanya. Yang teman-temannya kenal, Harsha adalah sosok laki-laki yang periang, selalu ramah kepada siapapun. Namun sisi yang tidak mereka tahu, Harsha selalu murung dalam kesendirian.

“Hai, Harsha,” sapa Fanda kemudian. Dia merasa ada kejanggalan. Harsha hanya diam. Dia malah menidurkan kepalanya di atas meja, seolah dia tidak mendengar apapun.

Fanda tidak menyerah. Dia menepuk pundak Harsha lalu meneriaki Harsha, “Harsha!!!” Seketika itu Harsha terlonjak kaget mendengar suara Fanda naik tiga oktaf.

“Hei… ada apa, Fan?” tanya Harsha tidak merasa bersalah.

“Kamu ngelamun? Aku sapa loh tadi. Tapi kamu malah cuek.”

“Oh ya? Maaf, Fan aku gak fokus. Lagi banyak pikiran, maaf banget ya, Fan?” Fanda menghembuskan nafas kasar detik kemudian dia mengangguk.

“Aku ada disini, Harsha. Kalau kamu butuh tempat cerita, aku siap dengarin. Jangan merasa sendiri Harsha, ada aku.” Harsha tersenyum tulus. Nyaris  tidak ada orang yang tahu bahwa Harsha mempunya senyuman setulus dan sehangat itu. Setelah mendengar ucapan Fanda, hati Harsha sedikit tergerak untuk mencurahkan isi hati dan pikirannya.

“Yakin mau jadi pendengar buat aku?” tanya Harsha memastikan. Senang hati Fanda mengangguk dengan seulas senyuman.

Sebelum bercerita, Harsha mengambil nafas panjang. Kemudian dia bertanya, “Fan, setelah ini kamu lanjut pendidikan ambil jurusan apa?”

“Ilmu Komunikasi, Har. Emang kenapa?” Harsha menggelengkan kepalanya pelan.

“Itu kemauan kamu sendiri atau bagaimana?” tanya Harsha lagi.

“Jelas kemauan aku sendiri, Harsha. Aku gak mau kalau aku dipaksa. Nanti malah gak jalan pendidikan aku karena gak sesuai dengan kemampuan yang aku punya.” Harsha mengangguk paham.

“Kamu sendiri mau ambil jurusan apa, Har?”

“Sastra Indonesia,” jawab Harsha yakin.

“Wah… mau jadi Pujangga kamu?” Harsha tersenyum sumringah seketika. “Gak harus jadi Pujangga juga, Fan.” Fanda menyengir mendengar pungkasan Harsha.

“Apapun yang terbaik buat kamu ya, Har. Aku sebagai teman kamu gak lebih dan gak kurang hanya bisa ngasih kamu semangat. Jangan pernah menyerah, dan yakin dengan kemampuan kamu.” Harsha mengangguk senang. Setidaknya dia sekarang mempunyai teman yang mendukung keinginannya.

“Makasih. Kamu juga, Fan.” Fanda mengangguk yakin.

*****

“Assalamualaikum.” Harsha telah sampai di rumah. Dan saat dia masuk, sudah disambut dengan Ayahnya. Tidak seperti biasa, Ayahnya sudah berada di rumah. Seperti hari sabtu kemarin.

“Darimana aja kamu?” tanya Ayah mengintimidasi. Firasat Harsha tidak enak.

“Dari sekolah, Yah.”

“Jawab yang jujur! Darimana aja kamu!” bentak Ayah.

“Harsha dari pulang sekolah, Yah.”

“Kamu bohong diajari siapa!? diajarin siapa, Ayah tanya!!?”

“Maksud Ayah apa?”

“Kamu udah punya pacar? Kamu sekarang udah berani bohong sama sama, Ayah? Siapa yang Ayah lihat tadi di alun-alun dengan seorang gadis!? JAWAB!!”

Deg!

Jantung Harsha berdetak lebih cepat. Keringat dingin mulai bercucuran. dia tidak akan menyangka jika Ayahnya akan tahu bahwa dia dan Fanda pergi ke Alun-alun Kota untuk menghibur diri sendiri akibat banyak pikiran. Namun tidak pernah menduga jika Ayahnya akan secepat ini tahu.

“Kamu bolos sekolah?” tanya Ayahnya dengan nada sedikit rendah. Dan saat itu, Ibu dan Kakaknya muncul  dari dalam rumah.

“Sekolah pulang pagi, Yah. Tadi mampir sebentar ke alun-alun.”

“Kalau udah waktunya pulang sekolah, langsung pulang! Jangan malah pacaran di alun-alun! Kalian berdua masih sekolah, masih pakai seragam sekolah. Kalau dikira yang tidak-tidak bagaimana? Keluarga yang malu, Harsha!”

“Aku nggak punya pacar. Dia hanya teman aku. Maaf, Yah.” Harsha tertunduk lemah.

“Kamu seharusnya ngerti! Kamu udah besar! Bisa gunain pikiran kamu dengan cerdas! Pulang sekolah bantu Ibu di rumah, jaga toko! Jangan keluyuran gak jelas! Kamu suka lihat Ibu sama Ayahmu menderita seperti ini?! kamu juga butuh uang saku, untuk memenuhi kebutuhan kamu. Masa disuruh jaga toko gitu aja gak mau! Kamu ini Ayah ajarin buat mandiri, biar nanti kamu sudah terbiasa di dunia kerja sendiri. Kamu malah meremehkan perintah, Ayah!”

Harsha diam seribu bahasa. Dia memang salah. Dia tidak berpikir panjang mengenai itu. Harsha ngaku bersalah. Jadi, dia hanya pasrah jika Ayahnya memarahinya seperti itu.

“Buku-buku yang ada di lemari kamar kamu sudah Ayah buang, sudah Ayah bakar. Buat apa menyimpan buku tidak berguna seperti itu. Menyimpan buku itu yang ada sumber ilmunya, bukan hanya hayalan! Mau jadi apa kamu!”

Harsha sontak mendongak. Dia tidak mengira jika Ayahnya akan melakukan hal lebih pada dirinya seperti ini. Harsha tidak bisa membiarkan ini terjadi padanya.

“Kenapa Ayah buang buku-bukunya!?”teriak Harsha.

“Buat apa buku seperti itu, hah!!”

“Ayah gak tahu kan seberapa rasa sedih aku selama ini?! Kalau bukan karena buku-buku itu, Harsha gak bisa sampai saat ini. Ayah gak sebanding dengan buku-buku yang Ayah bakar!”

“Harsha!” peringat Ibu. Ucapan Harsha sudah keterlaluan.

“JAGA BICARA KAMU! UDAH BERANI SAMA AYAH! JIKA AYAH GAK NGARAHIN KAMU, KAMU AKAN JADI KERETA MOGOK! GAK ADA APA-APANYA!”

“Memang Ayah ngarahin aku apa? Semua yang aku capai dari jerih payah aku sendiri. Yang ayah bisa hanya menyuruh dan menyuruh. Ayah, disini gak selalu menurut dengan Ayah. Aku berhak menentukan masa depan aku sendiri. Ayah gak berhak memaksa aku atas keinginan Ayah. Cukup Yah, aku mohon. Aku selama ini udah berusaha sabar dan menahan semuanya. Tapi Ayah semkin menjadi. Aku dari dulu sudah menuruti dan melakukan apa yang Ayah mau. Tapi maaf, sekarang aku berhak menentukan apa yang aku mau. Aku udah muak dengan semua perintah Ayah.”

“Berani ngebantah, kamu!! Mau kamu apa, Hah!?”

Harsha tersenyum sumir. “Baru ini aku mendengar Ayah bertanya seperti itu. Udah sadar ya? Kalau tanya aku mau apa? Aku mau masuk jurusan Sastra Indonesia. Ayah gak berhak melarang aku.”

“MAU JADI APA KAMU? PUJANGGA GILA!? DISANA GAK ADA PROSPEK PASTI. YANG ADA KAMU LUNTANG-LANTUNG SETELAH LULUS KULIAH! LIHAT KAKAK KAMU SEKARANG! APA DIA BERHASIL? APA DIA MAPAN SEKARANG? ENGGAK KAN? ITU SEBAB DARI AYAH YANG MEMBIARKAN KAKAK MU MEMILIH JURUSAN YANG DIA MAU! BUAT APA DIA SUSAH-SUSAH KULIAH KALAU HANYA MASUK SENI!? GAK ADA GUNANYA! KAMU YANG HARUSNYA SADAR DENGAN KENYATAANNYA, HARSHA!”

“KAKAK SEPERTI ITU JUGA KARENA AYAH! APA AYAH PERNAH MEMBERIKAN IZIN TENTANG PEKERJAAN YANG KAKAK MAU SELAMA INI? ENGGAK KAN, YAH? AYAH SELALU MENOLAK DAN MELARANG KAKAK KERJA JAUH DARI RUMAH. BAGAIMANA KAKAK BISA MAJU, BISA DAPAT PENGALAMAN,  KALAU AYAH SELALU BEGITU? AYAH SADAR GAK SIH!?.”

Deru nafas Harsha tidak terkontrol. Emosinya kian memuncak ketika melihat nyalang wajah Ayahnya. Cukup dengan penderitaannya selama ini. Dia akan mengakhiri semuanya.

“Buka mata dan hati Ayah. Ayah terlalu dibutakan oleh materi. Kuliah tidak semata-mata untuk mencari kerja. Dengan kuliah, kita melanjutkan pendidikan, kita bisa menambah wawasan, menambah ilmu. Kalau Ayah keberatan, ya sudah, tidak perlu menyekolahkan aku tinggi-tinggi jika akhirnya materi yang Ayah inginkan. Urusan kerja, biar aku yang pikir, Yah. Ini hidup aku. Mau jadi apa aku nantinya itu, aku yang tentukan. Ayah tinggal dukung apa susahnya sih! Oh… Ayah mengeluh susah kan? Ayah mengeluh perekonomian kita sulit kan? Ayah mengeluh jika menderita kan? Baiklah, aku putuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dan memilih untuk bekerja, mengayomi kalian semua. Ayah puas!? Aku tidak peduli dengan kedokteran yang Ayah mau. Dan satu lagi, aku bukan Pujangga gila seperti Ayah. Jangan Ayah pikir aku tidak tahu tentang itu.”

Harsha berlalu meninggalkan ruang amu dengan emosi yang masih menggebu. Harsha tidak rela jika kakaknya dikatai seperti tadi. Sungguh, dia tidak rela.

Harsha membanting pintu kamarnya cukup keras yang menimbulkan debaran di dalam rumah. Di dalam kamar, Harsha terduduk sambil menangisi dirinya. Dia mencoba untuk tidak terisak. Menangis dalam keterdiaman adalah definisi sakit yang sebenarnya. Dadanya begitu nyeri, kepalanya merasakan pusing yang amat menujam. Dan di saat seperti ini, kesehatannya tidak membaik. Beberapa bagian tubuhnya merasakan sakit. Nafasnya tercekat, sangat susah untuk menghirup oksigen di kamarnya. Dia merasa atmosfir disekitarnya semakin menipis.

Dia lelah, dia ingin istirahat untuk waktu yang tidak singkat. Dari sekian lama, akhirnya dia bisa mengeluarkan gejolak terpendam yang ada dalam hati dan pikirannya. Dia merasa lega, tapi juga merasa durhaka kepada orang tuanya. Perkataan keji yang di utarakan tadi tidak sepantasnya ia lepaskan dengan mudah. Dia bisa bertahan dengan kehidupannya yang menderita selama ini, tapi kenapa dia tidak mudah menahan kata-kata yang mampu menyakiti perasaan kedua orang tuanya tadi. Sungguh, dia yakin jika Tuhan tidak akan pernah memaafkan kesalahannya kali ini.

  • ●●●

Terhitung dua minggu setelah kejadian itu, Harsha tidak bicara sama sekali dengan Ayahnya. Dia sekarang lebih suka berbuat seenaknya. Tapi dia masih peduli dengan kakak dan Ibunya. Dia tidak peduli jika pulang terlambat dan menghabiskan waktu di Perpustakaan Kota lebih lama.

Di sekolahan Harsha sudah ada informasi terkait pendaftaran kuliah. Dia tidak bisa apa-apa lagi selain melihat teman-temannya yang asik membicarakan tentang kuliah dan konsep pendaftarannya. Pendaftaran akan dibuka selama satu minggu ke depan, dan hari ini sudah terhitung tiga hari. Kurang empat hari lagi pendaftaran akan ditutup.

Harsha sekarang juga semakin irit berbicara. Dia menjaga jarak dengan Fanda. Akan bicara jika memang itu diperlukan. Fanda yang merasa keanehan itu hanya diam. Dia tidak mau merusak suasana hati Harsha lebih dalam.

Pulang sekolah tiba. Harsha tidak berniat untuk mengunjungi perpustakaan hari ini.  Mood nya sedang kacau. Dia tidak akan fokus membaca buku jika keadaannya seperti ini. Harsha langsung pulang ke rumahnya dengan menaiki angkot. Dan tepat dengan angkot sedang pramai-ramainya, keadaan  mood nya semakin buruk. Tapi tetap saja dia naik angkot itu.

Tidak menunggu waktu lama untuk sampai ke rumahnya. Harsha turun angkot di depan gang utama. Sisahnya dia berjalan, tidak sampai sepuluh menit, dia sudah sampai.

Harsha memberi salam ketika dia masuk ke dalam rumah. Namun tidak ada sahutan satupun dari dalam rumah. Harsha tidak terlalu memperdulikan itu. Dia langsung ke kamarnya, melempar tas nya ke sembarang arah. Kepalanya sedikit pusing. Harsha tidak ingin munafik, dia iri melihat teman-temannya yang mendaftar perguruan tinggi. Tapi dia juga tidak akan mengingkari perkataannya jika dia akan bekerja setelah lulus SMA. Perekonomian keluarganya akan terus sulit jika dia memaksakan untuk melanjutkan pendidikannya.

Pandangan Harsha beralih ketika dia mendengar suara ketukan pintu. Kemudian muncul Ibunya dengan wajah lelah memanghampiri Harsha yang tengah duduk di dipan tempat tidurnya.

“Kamu sudah makan?” tanya Ibu basa-basi. Harsha menggelengkan kepalanya pelan tanpa menunjukkan ekspresi.

“Setelah kamu makan, kita bicara sebentar ya?” Harsha memandang Ibunya lamat-lamat. Namun, Ibunya hanya tersenyum hangat pada Harsha.

“Tapi sebelumnya, Ibu memberikan ini buat kamu. Besok kumpulkan ke sekolah.” Ibunya memberikan selembar kertas pada Harsha. Dia menerima kertas tersebut lalu membacanya dengan teliti. Dahinya berkerut saat membaca.

“Maksudnya apa ini, Bu?” tanya Harsha.

“Kamu bisa daftar kuliah. Maaf sudah terlambat memberi kamu izin.”

“Bu, nggak perlu memaksa aku untuk kuliah. Aku akan kerja, membangun perekonomian keluarga kita yang udah hampir runtuh. Ibu gak akan lelah nyari uang. Biar aku yang menggantikan Ibu.” Ibunya tersenyum, lantas mengelus lembut surai putranya.

“Ibu bangga sama kamu, Nak. Kamu mementingkan keluarga daripada diri kamu sendiri. Maafkan Ibu yang telat menyadari kesalahan Ibu selama ini.”

Harsha menggeleng lemah. “Ibu jangan minta maaf. Ibu terlalu berharga untuk minta maaf sama aku yang gak ada apa-apanya. Ibu gak salah.” Ibunya tesenyum, matanya berkaca-kaca. Dia bersyukur telah dikaruniai seorang putra yang begitu mengerti dengan keadaannya.

 “Kamu harus tetap kuliah, Harsha. Mencari pekerjaan saat ini sangat susah. Ibu gak mau lihat kamu menderita saat bekerja. Kamu harus mencari ilmu seluas samudera. Dengan berilmu, inshallah kamu akan dipermudah mencari pekerjaan yang kamu inginkan. Ridho Ibu selalu menyertai kamu, Harsha.”

“Tapi, Bu-” Ibunya menggeleng, menolak apapun yang akan dikatakan Harsha.

“Baiklah, Ibu akan memberitahu kamu sekarang saja.” Ibunya mengambil nafas panjang  kemudian menatap wajah putranya dengan tulus dan penuh kasih sayang.

“Beberapa hari ini, Ibu dan Ayah telah intropeksi, memikirkan kesalahan kami selama ini dalam mendidik anak. Dan dua hari yang lalu, Ayah mu di telepon pihak sekolah, membicarakan mengenai pendidikan kamu selanjutnya. Dari sana, Ibu dan Ayah mengerti, paham dengan kamu. Maafkan Ibu sudah tutup mata dan telinga selam ini, Harsha. Ibu dan Ayah tidak tahu jika kamu selalu berprestasi, selalu mengikuti lomba, selalu berapresiasi dalam kegiatan apapun, dan kamu masuk ke dalam 5 besar. Itu sungguh membanggakan kami, Nak. Tapi, apa yang Ibu dan Ayah lakukan selama ini? Selalu mengekang kamu, selalu memerintah kamu, selalu menuntut kamu. Sampai kami tidak sadar sudah membuat kamu seperti ini. Sungguh, maafkan Ibu dan Ayah, Nak.” Ibunya terisak. Perasaan Harsha teriris mendengar ungkapan dari Ibunya. Tapi tidak dapat dipungkiri jika dia juga melakukan kesalahan.

“Kemarin, Ayah dan Ibu ke sekolah kamu. Kami konseling pada wali kelas kamu. Yang akhirnya, Ibu dan Ayah tahu kemampuan dan kelebihan kamu. Dari situ, Kami sudah memutuskan untuk terus memperjuangkan kamu. Tidak membuat kamu putus di tengah jalan. Perjalanan kamu masih panjang. Kamu harus melanjutkan pendidikan. Jangan khawatirkan biayanya. Itu akan menjadi urusan kami. Kewajiban Ayah dan Ibu mencari uang untuk kamu. Kami masih mampu, jadi jangan pernah khawatir soal itu. Yang perlu kamu lakukan hanya berusaha, berdoa, dan tawakkal. Percaya, Allah sudah mengatur semuanya.”

Pertahanan yang begitu kokoh runtuh begitu saja. Harsha menangis, dia tidak bisa bersikap baik-baik saja. Karena pada nyatanya, dia rapuh, perasaannya teriris. Dia merasa begitu buruk telah membuat kedua Orang Tuanya merasa bersalah pada dirinya.

Ibunya mengelus punggung tangan Harsha. “Dari kamu juga, kami sadar sudah bersikap berlebihan pada Kakak kamu. Kami sekarang benar-benar sudah berhati-hati dalam bertindak.”

Harsha mengangguk. Tangisannya pecah. Detik kemudian dia memeluk ibunya dengan erat. Sekuat apapun pertahanan yang dibuatnya akan runtuh saat melihat orang yang begitu ia sayangi menangis karena dirinya.

“Maafkan Harsha, Bu.” Harsha menangis dalam pelukan Ibunya.

“Kamu tidak salah.” Perlahan, Harsha melepaskan pelukannya pada Ibunya. Dia masih terisak.

“Ayah ada dimana, Bu?” tanya Harsha kemudian.

“Ada di kamar.”

“Harsha ke Ayah dulu, Bu.” Ibunya mengangguk dengan seulas senyuman haru.

Lantas Harsha bangkit dari duduknya, meninggalkan Ibu di kamarnya. Dia keluar menghampiri Ayahnya yang berada di dalam kamar. Setibanya, Harsha mengintip Ayah yang tengah duduk termangu di atas dipan tempat tidur. Tatapannya kosong, banyak sekali beban yang Ayahnya pikirkan.

Harsha mengetuk pintu kamar Ayahnya berulang kali sampai Ayahnya menoleh dengan seulas senyuman yang tidak pernah Harsha saksikan. Senyuman khas Ayah yang nampak begitu beda. Ayahnya melambaikan tangan, seolah menyuruh Harsha masuk ke dalam kamar. Tidak berpikir panjang lagi, Harsha masuk kamar langsung bersimpuh di kaki Ayahnya.

“Ayah, maafkan Harsha sudah berbuat kurang ajar kepada Ayah. Maafkan sudah membentak, berteriak, dan perilaku buruk Harsha lainnya pada Ayah. Sungguh, Harsha minta maaf kepada Ayah. Tidak sepatutnya Harsha seperti itu kepada Ayah. Harsha tahu, permintaan maaf Harsha tidak sebanding dengan rasa sakit hati Ayah kepada Harsha. Dari hati Harsha paling dalam, Harsha meminta maaf. Harsha rela diberi hukuman apapun, asal Ayah bisa memafkan kesalahan Harsha.” Harsha menangis sejadi-jadinya. Ini adalah momen pertama kalinya bagi Harsha menangis, merasa sangat buruk di depan Ayahnya. Dia sudah lama menyadari akan kesalahan yang sudah dia perbuat. Tapi, gengsinya begitu besar untuk sekadar meminta maaf terlebih dahulu pada Ayahnya. Dan syukurlah, setelah Ibunya memberikan beberapa penjelasan selama beberapa hari yang lalu, Harsha mengesampingkan rasa itu.

Ayanya mengelus lembut surai putranya. Kacamatanya berembun akibat matanya yang basah. Ayahnya tidak bisa menahan perasaan harunya melihat putranya dengan segenap jiwa dan raga  meminta ampunan pada Ayahnya.

“Tidak apa-apa. Tidak semua salah kamu. Yang seharusnya meminta maaf pada kamu adalah Ayah yang sudah menyiksa kamu selama ini. Ayah minta maaf sudah bersikap seperti itu. Ayah tidak terlalau memperdulikan kamu. Ayah hanya sibuk bekerja dan bekerja. Ayah terlalu takut untuk hidup susah. Tapi, Ayah sadar jika di dunia ini tidak melulu soal materi. Rezeki sudah ada yang mengatur. Ayah sudah diperingatkan Allah perantara kamu. Maaf, Ayah terlambat menyadarinya. Ayo nak, berdiri. Jangan seperti ini.” Ayahnya menuntun Harsha untuk berdiri dari simpuhannya. Detik kemudian, Ayahnya memeluk Harsha dengan erat. Pelukan yang selama ini Harsha rindukan. Terakhir kali dia merasakan hal ini sewaktu dia masih kecil.

Dalam kondisi haru mereka, diam-diam ada yang menyaksikannya dengan mata yang berkaca-kaca. Ibu dan Kakaknya menyaksikan dengan hati yang lara.

Ayahnya melepas pelukannya terlebih dahulu lalu memegang tangan putranya dengan tulus. “Maafkan Ayah sudah menentang kemauan kamu. Ayah hanya takut jika kamu nanti akan bernasib sama seperti Ayah. Ayah tidak mau nasib keluarga kita selalu seperti itu. Ayah dulu lulusan Sastra Indonesia. Sama seperti kamu yang menggilai tentang Sastra. Tapi pada akhirnya, Ayah hanya bisa menjadi buruh pabrik. Tidak bisa mengangkat derajat orang tua. Dan Ayah tidak mau hal itu terjadi lagi pada kamu, Nak.”

Harsha tahu fakta tentang Ayahnya, bahkan jauh sebelum dia menyukai Sastra. Dia mulai menyukai Sastra sejak mengetahui kenyataannya jika Ayahnya dulu adalah penggemar Sastra. Dan Harsha yakin jika dia menuruni sifat Ayahnya. Tapi ketika Ayahnya tahu tentang keinginan anaknya, dia kalut dan marah besar lalu membuang semua buku-buku Harsha selain pelajaran.

“Kini Ayah paham. Kamu tidak sepenuhnya seperti Ayah. Kamu selalu aktif dalam sekolah, sedangkan Ayah pasif hanya fokus dengan kemampuan akademik. Ayah sekarang akan mendukung semua keinginan kamu. Apapun yang akan kamu ambil, Ayah akan menerima. Urusan kerja, Ayah yakin kamu bisa lebih dari Ayah.”

Setelah beberapa minggu tentang kegundahan hatinya mengenai pendaftaran kuliah. Kini akhirnya Harsha merasa tenang, bahkan merasa senang jika Ayahnya akan berubah pikiran secepat in. Dia juga akan berjanji pada Ayah, Ibu, Kakaknya, dan dirinya sendiri bahwa dia akan bersungguh-sunggu mencari ilmu dan selalu membantu meringankan beban Ayah dan Ibu.

  • ●●●

Hari-hari berlalu, bertahun-taun lamanya kehidupan keluarga Harsha berjalan semestinya. Lika-liku hidup pastilah ada. Tidak mungkin seseorang tidak akan merasakan naik-turunnya kehidupan. Sejak kejadian yang selalu membekas di ingatan, keluarga Harsha selalu berhati-hati dalam bertindak, menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin.

Beberapa tahun terlewati. Masa kuliahnya berjalan sebagaimana adanya Seorang Mahasiswa. Harsha aktif di berbagai organisasi yang ada di kampusnya. Dia juga selalu berapresiasi dalam kegiatan yang selalu diselenggarakan. Kakanya kini sudah mempunyai kerja tetap, sebagai Guru Seni di sekolah, menerima tawaran manggung jika ada acara, dan juga merangkap sebagai guru les Seni Musik.

Harsha merasa tidak mempunyai kendala sama sekali ketika dia menyelesaikan tugas akhir dalam kuliahnya. Namun, merasa lelah itu pasti ada. Orang tuanya tidak berhenti untuk selalu berdoa, mengharapkan kebaikan untuk anak-anaknya.

Harsha menjadi lulusan terbaik. Banyak sekali mahasiswa dan mahasiswi yang kagum dengan kegigihan Harsha. Jangan ditanyakan lagi bagaimana orang tuanya bangga dengan putra satu-satunya mereka yang menaikkan derajat orang tua. Ridho orang tua selalu menyertai anaknya dimanapun mereka berada. Setelah kelulusan Harsha, dia dengan gampang melamar pekerjaan di beberapa perusahan percetakan. Banyak yang menerima kualifikasi yang Harsha miliki. Pada akhirnya, Harsha memilih masuk ke dalam perusahaan yang benar-benar membutuhkan keahliannya. Beberapa  tahun dia bekerja, kabar baik datang kepada Harsha jika jabatannya dinaikkan menjadi menejer perusahaan. Tidak hanya bekerja di sebuah perusahaan, Harsha terkenal di kalangan remaja hingga tua karena karya yang ia ciptakan. Ya, Harsha juga merangkap sebagai seorang penulis yang selalu menyelipkan makna dalam karyanya. Sungguh, Orang Tua Harsha sangat terharu. Tidak akan menyangka jika mereka memiliki Putra yang begitu hebat. Harsha tidak mau besar kepala hanya karena jabatan yang ia terima. Menurutnya, semua manusia derajatnya sama di mata Sang Pencipta. Dia akan selalu giat bekerja demi mewujudkan impiannya yang sesungguhnya, yaitu memberangkatkan Haji orang tuanya ke Tanah Suci.

Tamat.

 Karya : Melysa (12 IPS 1)

Cerpen cerpen pilihan :

    1. Aku bukan ketua panitia
    2. Masih ada mentari untuk cindy.
    3. Surat Untuk kak Zaky
    4. Aku Harus mengaji
    5. Cita citaku jadi sopir
    6. Buly
    7. Aqidah orang bodoh
    8. Realita hidup ( Juara 1 lomba menulis cerpen )
    9. Jadi teman  ( Juara 2 lomba  cerpen siswa )
    10. Maafkan aku ibu
    11. Jose
    12. The star in the sky
    13. Antara luka dan bahagia
    14. Java in tranen 
    15. Autis juga manusia
    16. Bukankah aku sama dengan lainnya
    17. Masa muda
    18. Kumpulan puisi