KUMPULAN CERPEN 2024

JADI TEMAN

Alifia Cahyaneng Tias

Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, beradaptasi dengan suasana baru berulang kali, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Sayangnya, hal itu harus terjadi pada gadis berumur 17 tahun bernama Amanda. Empat tahun hidup di negeri orang, membuatnya harus kembali menyesuaikan diri saat kembali ke Tanah Air.

Hari ini, adalah hari pertama Amanda resmi menjadi murid SMA BANDARKEDUNGMULYO. Sepanjang langkahnya mengekori wali kelas menuju kelas XII MIPA 1, Amanda memasang senyum ramah pada teman-teman barunya.

“Silakan perkenalkan diri,” ucap Pak Sidik, wali kelas XII MIPA 1 begitu mereka berdiri di depan kelas.

“Nama saya Meylia Amanda, biasa dipanggil Amanda. Saya pindahan dari Perth, Australia. Salam kenal semuanya.” Tatapan menilai sontak ia dapatkan dari berbagai arah. Melihat satu bangku kosong di sudut pojok kelas, Amanda menghampirinya.

“Hai, aku Amanda,” ucapnya sambil mengulurkan tangan pada seorang perempuan berwajah tegas yang akan menjadi teman sebangkunya, Annisa. Annisa melirik sinis ke arah Amanda, lalu melengos tanpa berniat membalas jabatan tangan teman barunya itu. Melihat respon Annisa, Amanda hanya bisa tersenyum tipis sembari menarik kembali uluran tangannya.

Waktu kegiatan belajar mengajar dimulai. Seperti biasa, Amanda memperhatikan dengan seksama penjelasan guru di depan. Cita-citanya menjadi seorang dokter membentuk karakter Amanda yang tak pernah main-main dalam urusan belajar.

Empat jam pelajaran, akhirnya waktu istirahat tiba. Annisa bergegas beranjak dari tempatnya. Sepanjang pengamatan Amanda, Annisa menghampiri bangku depan. Amanda tahu, teman-temannya di sini kurang menyukai dirinya.

“Oh. Ini yang namanya Amanda?” Mendengar namanya disebut, Amanda yang semula membaca buku paket biologi mendongak. Ada Annisa, Fia, Angel, dan Fajar yang mengepung bangkunya. Tak hanya itu, tatapan para penghuni kelas yang memilih menghabiskan jam istirahat di kelas pun terfokus pada Amanda. “Pindahan dari Perth, Australia.”

Keempat orang di dekat Amanda tertawa. Lebih tepatnya, tawa mengejek.

“Sombong,” ucap Angel sinis.

“Cih! Mentang-mentang pindahan dari luar negeri,” sahut Fajar tak kalah sinis.

Amanda menatap memicing ke arah mereka. “Sorry, maksud kalian apa, ya?”

“Tuh, kan! Ngomongnya aja sok Inggris.” Fia menatap tak suka ke arah Amanda.

“Woi! Lihat nih teman baru kita, guys!” teriak Annisa. “Sok cantik! Sok bule! Sok pinter! Nggak level kita semua temenan sama dia!”

“Mana sok rajin lagi!” sungut Angel.

“Ngomong-ngomong, guys. Amanda emang cantik, sih,” ucap Fajar yang membuat ketiga temannya melotot tajam.

“Temanan sama dia, jangan harap dapet contekan tugas!” pungkas Annisa yang membuat Fajar lantas tersenyum nyengir.

Annisa kembali menoleh ke arah Amanda yang kedua matanya sudah berkaca-kaca. “Heh! Denger ya anak baru, kamu harus piket bersihin kelas tiap hari. Enak aja dateng-dateng duduk manis doang!”

“Sekalian kerjain tugas kita-kita,” sahut Angel. “Pinter kan kamu?”

“Nggak usah caper juga sama guru!” sahut Fia. “Awas kamu berani ngadu!”

“Ada apa itu kumpul-kumpul di belakang?” Suara guru di depan, membuat mereka semua bubar.

***

Pulang sekolah tiba. Akhirnya, Amanda bisa bernapas lega seiring motor yang ia kendarai menuju rumahnya. Sampai di tengah jalan, Amanda melihat seseorang yang tak asing di matanya.

“Annisa?” Yang dipanggil menoleh, dan ternyata dugaan Amanda benar. Amanda turun dari motornya. “Kenapa? Motor kamu mogok? Ayo. Aku bantu dorong. Di depan sana ada bengkel.”

“Gak usah!” Annisa menatap sinis ke arah teman barunya itu.

“Come on, Annisa! Aku cuma mau bantu. Nggak minta kamu nerima aku sebagai teman kamu.”

Annisa menatap penuh selidik pada Amanda, berusaha mencari kebohongan di balik mata gadis itu. Namun hasilnya nihil, hanya ada ketulusan di sana. Akhirnya, meski ogah-ogahan, Annisa menerima tawaran Amanda.

“Ternyata, dia baik,” batin Annisa sembari menatap Amanda di belakangnya melalui kaca spion.

***

Malam ini, Amanda dimintai tolong ibunya ke minimarket untuk belanja beberapa kebutuhan dapur. Di tengah jalan, matanya memicing kala melihat 2 orang perempuan yang tampak familiar. Tapi bukan itu yang menyita penuh perhatian Amanda, melainkan seorang lelaki bertubuh kurus yang tampak seperti preman di belakang keduanya. Bukan. Laki-laki itu memang preman.

“Lho, itu bukannya Fia sama Angel?” gumam Amanda.

Melihat preman di depan sana mulai ancang-ancang, kedua mata Amanda melebar. Perempuan itu mengambil kayu besar yang tergeletak di jalan, lalu cepat-cepat mengarahkannya pada bahu si preman sambil teriak.

“COPETTT!!! TOLONGGG!!! ADA COPETTT!!!”

Mendengar teriakan itu, semua atensi menoleh ke arah Amanda. Fia dan Angel yang shock, refleks memeluk ponsel mereka masing-masing. Sementara si preman lari terbirit-birit sebab warga mulai berdatangan.

Situasi aman. Dan Amanda akhirnya bisa bernapas lega. “Kalian nggak apa-apa?”

Karena masih shock, yang ditanya hanya menggeleng.

“M-makasih,” ucap Fia dan Angel secara bersamaan.

Amanda tersenyum tulus. “Sama-sama.”

***

Keesokan harinya, pelajaran biologi mengadakan tugas kelompok yang terdiri dari 5 orang. Amanda melirik seisi kelas, teman-temannya sudah membentuk kelompok masing-masing. Selain pasrah, apalagi yang bisa Amanda lakukan?

“Mau gabung sama kita? Kurang satu orang, nih.”

Di saat Amanda sudah benar-benar pasrah, sebuah suara membuatnya mendongak. Annisa. Perempuan itu sudah berdiri di dekat meja Amanda bersama Fia, Angel, dan Fajar.

“Boleh aku gabung bareng kalian?” tanya Amanda.

Keempatnya saling pandang, lalu mengangguk pada Amanda sembari tersenyum ramah. Tampang ketus yang kemarin mereka tunjukkan, tak lagi ada.

“Amanda, maaf ya atas sikap kita kemarin,” ucap Angel.

“Kalau nggak ada kamu, mungkin aku sama Angel udah diapa-apain sama preman itu,” sahut Fia.

“Nahhh!!! Gitu dong!!! Cantik-cantikku akur! Kan adem lihatnya,” seru Fajar yang membuat keempatnya lantas tertawa.

“So, kita berlima … jadi teman?”

“JADI TEMAN!” jawab mereka semua kompak.