MASIH ADA MENTARI UNTUK CINDY

MASIH ADA MENTARI UNTUK CINDY

S Purnomo*

 

“Ada perlu apa Cin?” Pak Sidik guruku fisika menyapaku ditangannya tampak setumpuk buku, mungkin beliau hendak mengajar di kelas.

“Hendak bertemu pak Irawan Pak, mau mengambil izasah saya mohon maaf baru sempat mengambil.”

“Coba lihat diruang guru barangkali ada, oiya Cin, sekarang kamu lagi dimana  kerja atau kuliah?” Pak

Sidik tampak serius dan hati-hati dalam bertanya.

Aku terdiam beberapa saat tenggorokanku rasanya  seret untuk mengeluarkan kata-kata.  Setiap ada yang bertanya tentang kuliah hatiku terasa perih, ingatkanku kembali pada kejadian beberapa tahun silam dimana saat aku kelas 2 Sekolah Dasar ayahku sakit dan meninggal dunia. Dunia terasa hancur ibuku  harus membesarkan aku sendiri. Setelah aku masuk SMP aku kasihan pada ibuku yang menjadi orang tua tunggal dalam membesarkan aku, aku sering meminta beliau untuk menikah lagi karena secinta apapun beliau kepada almarhum ayahku,  beliau juga harus memperhatikan masa depannya kelak.

“Bu, apa tidak sebaiknya ibu menikah lagi, mumpung ibu masih muda dan cantik nanti kalau ibu sudah diatas limapuluh tahun ibu akan kesulitan mendapatkan jodoh. Nanti aku juga ingin kuliah bu, aku tidak tega melihat ibu sendiri seperti ini.”  Mungkin sudah keberapa kali aku mengingatkan ibu agar menikah dan jawabannya selalu sama.

“Aku tidak tega jika harus mengkianati bapakmu, bagaimanapun juga kenangan dengan bapakmu tidak mungkin aku lupakan” ibuku menjawabnya dengan pelan takut aku salah pengertihan.

“Ibu tidak mengkianati bapak, karena saya tahu posisi bapak dihati ibu tetap tidak tergantikan, tidak bisakah ibu sedikit memberi ruang pada orang lain dihati njenengan, agar ibu lebih baik.”

Ibuku hanya diam sementara butiran-butiran air bening menetes diantara kedua pelupuk matanya, aku tahu ibu berusaha tetap tegar saat tampil dihadapanku padahal pasti ibu merasakan beban yang sangat berat jika harus menguliahkan aku.

Akhirnya saat aku masuk SMP ibuku menikah lagi, ayahku sangat menyayangi aku dan ibuku. Meskipun ayah tiriku bukan orang yang kaya,  tapi kehidupan kami tampak lebih baik, perlahan aku mulai bisa melihat ibuku dapat tersenyum, aku juga merasa bahagia sebab bagaimanapun kehidupan tidak boleh sampai berhenti.

Setiap selesai sholat aku selalu berdo’a untuk almarhum ayahku, mudah-mudahan beliau ditempatkan ditempat terbaik oleh Alloh SWT, aku juga selau berdoa untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat disekitar diriku sesuai pesan bapak Aimaduddin.

Masih terngiang ditelingaku apa yang dikatakan Bapak Imaduddin pembinaku pada ekstra remaja masjid.  “Anak-anak yang tertulis di Bed kalian berbunyi   Khairunnas Anfauhum Linnas artinya sebaik-baik menusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Ingat bermanfaat bukan dimanfaatkan, meskipun ini kelihatannya sama tapi subtansinya berbeda.”

“Misalnya kamu sebagai dokter di rumah sakit, banyak pasienmu, mereka puas atas pelayananmu alhamdulillah banyak pasienmu yang disembuhkan Alloh setelah berobat kepadamu dan kamu mendapat imbalan yang pantas dari rumah sakit itu artinya kamu bermanfaat.” Pak Aimaduddin tampak mengambil napas dalam-dalam.

“Pada kasus yang sama jika kamu tidak mendapat imbalan yang wajar dari rumah sakit, sementara rumah sakit mendapat kontribusi yang besar dari pasien. Itu artinya kamu dimanfaatkan rumah sakit.”

“Lain halnya jika kamu mengadakan bakti sosial disuatu daerah,  semua tahu masyarakatnya miskin sehingga tidak ada imbalan apapun dari jasa kesehatan, pada kondisi ini kamu tidak dimanfaatkan meskipun tidak mendapat imbalan finansial , karena sama-sama ridho.” Pak Aimaduddin selalu memberikan materi saat setelah selesai sholat Jum’ah, pada saat kepengurusan saya ini rencananya remaja Masjid Citra Madinah akan menyelenggarakan khitanan masal.

“ Cin nglamun ya, …. ditanya kok malah nglamun.“ Pak sidik mengulangi pertanyaannya.

Tampak dari jauh temanku April sambil berlari menghampiri kami berdua “ Pak Irawan ada pak, … “

“Kamu ini bagaimana Pril, datang langsung main todong saja, salam dulu kek atau napasnya itu ditata dulu baru ngomong nanti kalau kamu kehilangan napas nyarinya dimana” pak Sidik mengingatkan April sambil bergurau.

“Maaf pak, saya agak tergesa-gesa mengambil izasah, soalnya nanti jam sebelas saya harus ke Surabaya pak, besuk terakhir pendaftaran ulang, saya diterima di Unair pak jurusan Psikologi.” April menjawab dengan jelas meskipun napasnya masih tampak belum tertata.

“Coba lihat ke dalam.”

“Nggih pak, Assalamu’alaikum.” April memberikan salam sambil berlari.

“Cin, bagaimana pertanyaan bapak tadi.”

Aku berusaha tetap tersenyum akhirnya kujawab sekenanya “Saya tidak kuliah pak, karena tidak lolos bidik misi, rencananya tahun depan saya coba lagi, untuk sementara ini saya kerja dulu di ABC.”

“Ooo alhamdulillah, bukan pilihan yang jelek itu, ABC mana, batry atau makanan dan minuman.”

“Maaf pak, bukan itu yang saya maksud, maksud saya ABC Awan Bengi Cangkruk artinya masih nganggur.” Kami berdua tersenyum meskipun sangat kecut.

“Cin, kalau kamu mau kamu bisa menjadi Laboran di SMA Bandar meggantikan Dwi Mukasonah, karena dia ingin konsentrasi ke kuliahnya, kalau iya temui bu Hamidah di ruang guru, saya mau mengajar dahulu.”

Aku temui bu Hamidah di Ruang Guru. Guru Biologiku yang cantik ini disamping mengajar biologi dan Kewira usahaan juga menjadi kepala laboratorium.

Kulihat bu Hamidah sedang membaca buku sesekali beliau membetulkan kacamatanya “Assalamu’alikum bu, kata pak Sidik ada lowongan menjadi Laboran di SMA Bandar menggantikan Dwi Mukasonah, apa betul nggih.”

Bu Hamidah tidak segera menjawab, wajahnya yang cantik perlahan menoleh kepadaku “ Ada apa mbak… ini mbak Cindy Claudia Karim kelas XII mipa 3 kan.”

“Iya bu,tadi sebelum masuk kesini tadi saya bertemu pak Sidik , beliau cerita katanya kemarin Dwi Mukasonah mengundurkan diri dari laboran SMA N Bandar, jika ibu tidak keberatan saya ingin menggantikannya soalnya tahun ini saya masih belum ada kegiatan.” Plong rasanya , aku bisa berkata dengan runtut meskipun nadanya agak grogi.

Bu Hamidah tidak segera memberikan jawaban, beliau tampak mengambil nafas yang dalam, satu menit menunggu beliau menjawab terasa sangat lama, perlahan beliau berkata “ Masalahnya… disini imbalannya sangat kecil, apakah mbak Cindy mau , kalau mau monggo.” Clees rasanya suranya buham mengguyur hatiku seperti es campurnya mbak Silfi yang anak-anak biasa minum es Campur disana.

“Mau bu, bagi saya imbalan juga penting, tapi yang lebih penting lagi saya terhindar dari predikat pengangguran.”

“Baik kalau begitu, saya segera matur bapak Kepala Sekolah, mbak Cindy bisa mulai masuk kapan, sekarang atau besuk.”

“Besuk bu, saya pulang dulu mempersiapkan diri.” Niatku untuk bertemu Bapak Irawan kutunda dahulu, toh besuk aku juga akan ke SMA Bandarlagi.

Kerja sebagai laboran di SMA N Bandarkedungmulyo gampang-gampang susah, gampang jika waktunya longgar tidak ada guru praktikum bisa kugunakan untuk mempelajari tes UTBK agar aku dapat masuk PTN pada tahun depan. Susah karena kadang-kadang ada guru yang menggunakan laboratorium mendadak, mestinya sehari sebelum praktek beliau seharusnya sudah WA dahulu, apa susahnya kan aku bisa menyiapkan alat terlebih dahulu, apalagi kalau kres kan tidak enak.

Kadang-kadang pak Sidik datang ke laboratorium mengajaku ngomong “ Cin, bagaimana tetap ingin ke ITS. Kamu harus tahu Cin, apabila masuk tahun ke dua sulit untuk dapat bidik misi, dalam kondisi seperti kamu tidak harus kuliah di Surabaya di Jombang juga bisa, sehingga biaya hidup bisa ditekan, yang penting akreditasi jurusannya jangan C, sebab kadang-kadang ketika akan bekerja akreditasi penjurusan waktu kuliah juga dipakai persyaratan.”

“ Iya pak, saya menyadari itu tapi saya yakin Alloh akan menjawab d’oa-d’oa saya.” Kuyakinkan pak Sidik meskipun hatiku juga ragu-ragu.

Ternyata Alloh menjawab do’a ku, saudara kakekku meninggal, beliau  tidak punya keluarga sehingga orang tuaku almarhum juga mendapat bagian warisan,  karena ini bagian dari ayahku almarhum maka digunakan untuk biaya kuliahku, ditambah beberapa tabungan ayah dan ibu sekarang ternyata cukup untuk kuliah.

Waktu pendaftaran SNPTN tiba, aku mengambil jurusan Teknik Komputer di ITS, sedang pilihan ke dua aku mengambil Teknik Fisika di Universitas yang sama. Saat Tes aku hanya bisa mengerjakan kira-kira enam puluh persen dari soal yang kuyakini pasti benar, sedang soal yang tidak bisa kukerjakan dan tidak yakin jawabannya saya biarkan kosong, sebab jika jawabanku salah nilainya  minus satu.

Tibalah saat  pengumuman ku coba berkali-kali login ke Portal SNPTN ternyata sulit sekali masuk, jam dua siang aku dapat login dengan berdebar-debar aku masukan nomer tes dan Paswod…. Login enter…… “ SAUDARA CINDY CLAUDIA KARIM “  SELAMAT SAUDARA DITERIMA DI TEKNIK FISIKA ITS.

Aku berlari kearah ibuku “ Bu, Aku diterima di Teknik Fisika ITS Bu” Ibu tidak menjawab hanya tersenyum sambil menangis, kami sekeluarga aku,ibuku,ayahku,dan adikku berangkulan sambil menangis bersama-sama, Alhamdulilah ya Alloh, …. Kami syujud syukur bersama-sama, kami bertakbir “Subhaanallohi walhamdulillaah walaailaaha-illaloohu wallohu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘adziim “ Maha suci Alloh, segala puji kepunyaan Alloh, tiada tuhan selain Alloh, Alloh Maha Besar dan tiada kekuatan serta daya upaya kecuali atas izin Alloh yang maha tinggi dan Maha Agung.

Lima hari berikutnya aku berpamitan pada seluruh guruku yang sekaligus temanku, Pak Sidik tampak tersenyum, beliau terasa seperti bapaku sendiri karena seringnya kami ngobrol,  ada rasa sedih ketika harus berpisah tapi bagaimana lagi aku harus menyongsong masa depanku.

Sengaja aku lewat tengah lapangan, aku ingin  merasakan hangatnya sentuhan sinar matahari yang pagi ini terasa sangat cerah melebihi hari biasanya. Sambil melangkah pulang aku berkata  “ Ternyata masih ada matahari untuk Cindy “

 

Jombang 8 Agustus 2022 

 Catatan : Cerita ini hanya fiktif belaka jika ada kesamaan tokoh,tempat dan peristiwa itu hanya emajinasi pengarang.

Cerpen cerpen pilihan :